27.9.05

Mikraj: Fakta Atau Fiksi?

“Suatu malam … dengan mengendarai Buraq, Nabi Muhammad diperjalankan dari Masjid al-Haram di Mekah ke Masjid al-Aqsha di Palestina dan kemudian diterbangkan Allah ke langit (mi’raj) untuk menerima perintah shalat.  Perintah shalat pada mulanya adalah lima puluh waktu dalam sehari semalam, namun oleh Nabi Muhammad ditawar berkali-kali sehingga akhirnya cukup lima waktu saja.”

Kisah di atas sudah tidak asing lagi bagi kita yang lahir dan dibesarkan sebagai seorang muslim.  Sejak kanak-kanak cerita tersebut sudah disampaikan oleh para pengajar agama di sekolah, di madrasah, maupun di masjid.

Baiklah, masa kanak-kanak sudah berlalu, sekarang waktunya bersikap kritis atas suatu informasi alih-alih langsung menelannya begitu saja.

Sebelum mengambil kesimpulan tentang kebenaran cerita mi’raj, saya ingin mengajak anda menelusuri lima butir ulasan berkaitan dengannya.

Pertama, Quran tidak pernah menyebut kata “mi’raj” dalam kaitannya dengan kisah isra’ Nabi Muhammad.  Kata “buraq” malah tidak ada sama sekali di dalam Quran.  Dua hal penting yang melengkapi cerita tentang mi’raj tersebut seharusnya ada di dalam Quran bila memang cerita mi’raj sebagaimana yang dikisahkan benar-benar pernah terjadi.

Quran hanya memuat kisah tentang seorang hamba Allah yang diperjalankan-Nya pada malam hari (isra’) dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa tanpa ada tambahan terbang ke langit.

“Agunglah (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda Kami …” (Quran 17:1)

Sulit diterima kalau momen “terbang ke langit” ini luput dalam kitab-Nya yang jelas dan terperinci, sementara peristiwa isra’ dinyatakan dengan jelas.

Ke dua, terdapat penjelasan yang tidak logis berkaitan dengan urutan cerita mi’raj ini.  Disebutkan di dalam suatu riwayat oleh Ibnu Ishak bahwa Nabi Muhammad mi’raj setelah shalat Isya.  Pada riwayat lain disebutkan pada saat setelah beliau shalat Subuh.  Bagaimana mungkin beliau melakukan shalat sedangkan perintah shalat “katanya” baru akan dijemput ke langit?

Ke tiga, ketika suatu waktu rasulullah Muhammad ditantang untuk naik ke langit, beliau mengingatkan orang yang menantangnya bahwa beliau hanyalah seorang manusia.  Kalaulah peristiwa mi’raj benar pernah terjadi, tentu beliau akan menerangkan bahwa naik ke langit itu sudah pernah beliau alami.

“‘Atau engkau mempunyai sebuah rumah dari perhiasan emas, atau engkau naik ke langit; dan kami tidak akan mempercayai kenaikanmu itu sampai engkau turunkan kepada kami sebuah kitab supaya kami membacanya.’ Katakanlah, ‘Agunglah Tuanku! Bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?’” (Quran 17:93)

Ke empat, sesungguhnya perintah shalat bukanlah hal baru.  Praktik shalat sudah ada jauh sebelum Nabi Muhammad.  Apabila kita menyimak kisah Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Nuh, Nabi Syuaib, dan Nabi Isa di dalam Quran, dengan jelas diketahui bahwa nabi-nabi tersebut pun menjalankan shalat.

Tidak ada perbedaan mendasar pada perintah shalat itu.  Sejak Nabi Ibrahim pun gerakannya adalah berdiri, rukuk, sujud.  Nabi Muhammad sendiri diperintahkan Allah untuk mengikuti ajaran Nabi Ibrahim.  Karenanya, tidak ada bagian shalat yang masih perlu “dijemput ke langit” oleh Nabi Muhammad.

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ’Ikutilah agama Ibrahim, seorang yang lurus, dan dia tidak termasuk orang-orang yang musyrik.’” (Quran 16:123)

Ke lima, adegan tawar menawar antara Nabi Muhammad dan Allah berkenaan dengan frekuensi shalat dalam sehari semalam adalah sebuah adegan yang tidak masuk logika ketuhanan.

Allah itu maha Mengetahui.  Dia tidak butuh dikoreksi berkali-kali oleh seorang nabi agar perintah-Nya sesuai dengan batas kemampuan manusia.  Sesungguhnya segala apa yang ditetapkan-Nya, telah sempurna dengan kebenaran dan keadilan.

“Dan telah sempurna perkataan Tuanmu dengan kebenaran dan keadilan.  Tidak ada yang dapat mengubah kata-kata-Nya.  Dan Dia Mendengar, Mengetahui.” (Quran 6:115)

Kiranya jelas bahwa cerita mi’raj tidak memiliki cukup dasar untuk dapat kita percayai.  Dalam hal ini bukan kita tidak mau percaya pada hal-hal yang luar biasa.  Kita percaya Maryam mengandung tanpa sentuhan laki-laki, Nabi Isa menghidupkan orang mati, dan tongkat Nabi Musa berubah menjadi ular, karena Quran memberitakan hal-hal tersebut.  Sedangkan mi’raj, tidak ada landasannya di dalam Quran.

(Terakhir diperbarui: 16 Maret 2019)

Baca juga: Sidratil Muntaha

Share on Facebook

Artikel Terkait: