23.1.07

Islam Tidak Anti Nalar

Ceritanya, wabah Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) sedang merajalela di suatu kota. Salah satu warga kota, si Polan, dinyatakan positif terjangkit virus SARS yang mematikan dengan tanda-tanda panas tubuh yang sangat tinggi, mencapai 39 derajat celcius.

Orang tua Polan mendatangi rumah sakit dan ingin mendapatkan penjelasan tentang kondisi anaknya. Dengan perasaan sangat cemas orang tua Polan bertanya kepada dokter yang baru saja keluar dari ruang isolasi. Ditanya oleh orang tua si Polan, dokter pun menjawab, “Panas tubuh anak anda berasal dari gejolak neraka. Coba nanti di rumah dikompres air dingin dan banyak-banyak minum.”

Beberapa hari di rumah kondisi Polan tidak kunjung membaik, malahan terus merosot sehingga menimbulkan kekhawatiran orang tuanya. Bukan saja orang tuanya khawatir tentang keselamatan nyawa si Polan, namun yang lebih mereka khawatirkan adalah keselamatan anaknya di akhirat nanti. Pasalnya, si Polan termasuk orang yang terdepan dalam menentang ayat-ayat Allah dan senang pula berbuat maksiat.

Guru agama Polan yang kebetulan sedang membesuk ke rumah membisiki orang tua Polan yang tengah gundah gulana tadi, “Tidak usah khawatir pak … si Polan kan sudah sempat menghafal 99 asmaul-husna sewaktu pesantren kilat libur sekolah yang lalu. Karena dia sudah hafal, pastilah nanti dia akan masuk surga …”

Karena resep kompres air dingin dan banyak minum dari dokter ternyata tidak manjur, kondisi Polan sekarang sudah sekarat. Melihat keadaannya, semua yakin nyawa Polan tidak akan sampai satu hari lagi. Suasana sangat mencekam, seakan-akan malaikat pencabut nyawa sudah berdiri di depan pintu rumah.

Namun ada ganjalan di dalam hati orang tuanya kalau sampai si Polan meninggal dalam satu hari ini. Kakaknya yang berada jauh di pulau seberang tidak mendapatkan tiket pesawat terbang, dan baru bisa datang dua hari lagi. Sedangkan si kakak sudah berpesan agar adiknya jangan sampai dikuburkan sebelum dia menyaksikannya untuk terakhir kali.

Akhirnya salah seorang yang dituakan dan berwibawa di lingkungan mereka pun angkat bicara, “Tenang ... cukup kita tempatkan saja anjing Pak RT dan kita gantungkan lukisan-lukisan penari Bali di rumah sampai kakaknya datang. Malaikat pencabut nyawa tidak akan bisa memasuki rumah yang ada anjing dan lukisannya.”

Cerita “aneh” di atas adalah fiktif belaka, tolong membacanya jangan terlampau serius. Saya hanya mencoba merangkai tiga buah hadis “sahih” ke dalam urutan peristiwa yang mudah-mudahan berguna untuk bahan renungan akal kita.

Hadis pertama berasal dari kumpulan sahih Bukhari, yaitu bahwa demam panas berasal dari gejolak api neraka. Selaku orang beriman tentu kita meyakini adanya neraka, tempat di mana orang-orang yang ingkar dibakar dan disiksa. Namun mengaitkan antara demam yang merupakan tanda dari berbagai penyakit dengan api neraka tidaklah ada kaitannya dengan keimanan. Apa jadinya kalau kaum muslim betul-betul mengimani ajaran hadis sahih itu? Mungkin cerita “aneh” di atas akan benar-benar terjadi, dan dunia kedokteran kita akan mundur jauh melewati zaman batu.

Hadis ke dua adalah juga berkategori sahih dan diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Dikatakan bahwa barang siapa yang hafal 99 asmaul-husna akan masuk surga. Apakah surga semurah itu, cukup dengan menghafal 99 asmaul-husna? Dengan bantuan kaset lagu asmaul-husna ditambah lagi dengan menyimak teksnya, anda akan bisa hafal dalam beberapa jam saja. Berarti, menurut ajaran ini, tiket surga sudah anda kantongi.

Tidak bisa diterima dalih bahwa orang yang hafal 99 asmaul-husna tersebut harus pula beriman dan mengerjakan kebaikan agar bisa masuk surga. Karena kalau demikian syaratnya, maka hafal 99 asmaul-husna menjadi tidak relevan lagi.

Tidak pula berdasar kalau mau dikatakan bahwa mereka yang tidak beriman dan tidak mengerjakan kebaikan akan tetap masuk surga jika hafal 99 asmaul-husna namun sebelumnya harus masuk neraka terlebih dulu untuk “pembersihan.” Ayat-ayat Allah mengatakan bahwa baik penghuni surga maupun penghuni neraka kekal di dalamnya. Tidak ada cerita naik kelas atau turun kelas di akhirat kelak.

Hadis ke tiga berasal dari Abu Thalhah dan diberi label sahih oleh Bukhari. Dia mengajarkan bahwa malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya ada anjing maupun lukisan. Dalam konteks hadis ini, mestinya memang malaikat pencabut nyawa tidak bisa menjangkau orang yang di rumahnya ada anjing atau lukisan. Tapi anda tentu tahu bahwa ada banyak orang yang meninggal di dalam rumah yang ada anjing ataupun lukisan. Siapa yang telah mencabut nyawa mereka?

Tiga hadis di atas adalah sedikit dari banyak hadis yang tidak bisa memuaskan nalar dan logika mereka yang mau berpikir. Mereka yang tidak rela akal sehatnya ditindas oleh doktrin-doktrin agama akhirnya menempuh paham liberal sebagaimana yang menjangkiti sebagian intelektual muda Islam belakangan ini.

Dengan menggunakan paham liberal maka ukuran benar-salah semuanya dikembalikan kepada pertimbangan pribadi. Kalau cocok, diambil. Kalau tidak cocok, ditolak. Dalam kasus ini sebenarnya mereka telah sampai kepada tahap menuhankan keinginan diri sendiri.

Pihak-pihak yang mengecam kaum liberalis dalam kesehariannya secara diam-diam juga telah bersikap liberal. Dikatakan demikian karena kenyataannya mereka juga tetap melakukan sortir atas ajaran-ajaran hadis. Hadis-hadis yang dirasa “tidak cocok” tidak akan diterapkan meskipun itu berderajat sahih.

Mereka membiarkan anak perempuan mereka pergi sekolah dan kerja tanpa didampingi mahram; mereka membiarkan celana panjang mereka melebihi mata kaki; dan mereka tidak mewarnai janggut mereka. Semua tindakan itu adalah bentuk-bentuk sortir yang tidak bisa dikatakan tidak liberal.

Sumber doktrin anti-nalar yang kemudian berdampak pada suburnya paham liberal di dalam Islam adalah kitab-kitab hadis. Kumpulan ajaran-ajaran yang secara dusta dialamatkan ke atas diri Nabi Muhammad 
dua ratus tahun setelah beliau wafat.

Ajaran Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dan terangkum di dalam kitab Quran menempatkan nalar manusia pada kedudukan yang tinggi. Berpuluh kali Quran mengusik kesadaran kita dengan kalimat, Apakah kalian tidak menalar (afalaa ta'qiluun)?” dan "mudah-mudahan kalian menalar (la'allakum ta'qiluun)." Berkali-kali pula dinyatakan bahwa yang bisa memetik peringatan dari ayat-ayat Allah, baik yang ada di alam semesta maupun yang ada di dalam kitab-Nya, hanyalah orang-orang yang menggunakan akalnya. Bahkan Quran bercerita tentang orang yang masuk neraka gara-gara sewaktu di dunia tidak mau menggunakan akal pikirannya (lihat surah 67:10).

Sejalan dengan penghargaan Quran terhadap akal, kita tidak akan menemukan doktrin-doktrin anti-nalar di dalamnya. Jadi anda tidak perlu menanggalkan akal sehat anda ketika mengkaji agama, dan kemudian memasangnya kembali setelah jam mengkaji agama usai.

Bagaimana sebenarnya kedudukan akal terhadap Quran? Pada awalnya kedudukan akal—secara relatif—berada di atas Quran. Saya katakan demikian karena dengan akal-lah kita menguji apakah Quran itu layak diyakini sebagai wahyu Tuhan atau tidak.

Beberapa temuan sains yang memverifikasi ayat-ayat Quran dapat menjadi bahan pertimbangan akal. Terjadinya pemisahan langit dan bumi pada proses awal pembentukannya (Quran 21:30) telah dikonfirmasi dengan teori big bang pada abad ke-20. Klaim bahwa gunung-gunung berfungsi sebagai pasak (Quran 78:6-7) telah dibuktikan oleh para fisikawan yang mengistilahkan pemakuan kerak bumi oleh gunung-gunung sebagai isostasi. Dinding virtual yang memisahkan dua lautan (Quran 55:19-20) telah terbukti dimana air laut Tengah yang memasuki samudera Atlantik melalui selat Gibraltar tidak bercampur disebabkan adanya gaya fisika yang dinamakan “tegangan permukaan.” Bahwa segala sesuatunya—termasuk yang tidak kita ketahui—diciptakan berpasang-pasangan (Quran 36:36) dikuatkan oleh eksplorasi “anti-materi” oleh Paul Dirac, pemenang nobel fisika tahun 1933 dari Inggris.

Setelah merenungkan ketinggian kandungan Quran yang sebagiannya terlihat dari beberapa temuan sains di atas, akal kemudian bergumam, “Tidak mungkin pada abad ke-tujuh seorang manusia padang pasir telah mengarang kitab ini ...”

Nah, setelah akal kita sampai kepada kesimpulan bahwa Quran itu memang benar wahyu Tuhan, maka selanjutnya si akal yang tadi berfungsi sebagai penilai menundukkan diri kepada Quran.

Share on Facebook

Artikel Terkait: