16.10.07

Ketentuan Shalat di Dalam Quran (Bagian-1)

Shalat Dan Tujuannya
 
Shalat dapat didefinisikan sebagai ritual menghubungkan diri dengan Allah yang dilakukan dengan tertib tertentu pada waktu-waktu yang telah ditentukan.
 
“… Sesungguhnya shalat itu atas orang-orang yang beriman (adalah) kewajiban yang ditentukan waktunya.” (Quran 4:103)

Tujuan shalat adalah untuk mengingat Allah melalui pembacaan ayat-ayat-Nya di dalam shalat.  Shalat juga berfungsi untuk memperbarui komitmen penghambaan kita. Sikap tubuh berdiri, rukuk, dan sujud mewakili ketundukan yang mengingatkan bahwa diri kita hanyalah hamba di hadapan-Nya.
 
“… dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Quran 20:14)
 
Ingatan dan penundukan diri yang konstan kepada Allah dari waktu ke waktu melalui shalat yang terjaga akan menjadi pencegah bagi kita dari berbuat sumbang dan mungkar. 
 
“… dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari kesumbangan dan kemungkaran ...” (Quran 29:45)
 
Nama Dan Waktu Shalat
 
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, ritual shalat terikat pada waktu-waktu tertentu.
 
Dari salah satu ayat Quran kita menemukan keterangan tentang shalat yang dilakukan pada dua ujung siang, yaitu waktu sekitar terbit dan terbenamnya matahari. Shalat pada ujung siang pertama (terbit) dinamakan shalat Fajar (24:58), dan shalat pada ujung siang ke dua (terbenam) dinamakan shalat Isya (24:58).
 
“Dan dirikanlah shalat pada dua ujung siang, dan dekat-dekat dari malam …” (Quran 11:114)
 
Frasa “dan dekat-dekat dari malam” pada ayat di atas adalah petunjuk yang menerangkan bahwa waktu shalat di dua ujung siang itu berbatasan dengan malam yang dekat dengannya.
 
Waktu shalat Fajar merentang dari titik terbit matahari ditarik mundur ke akhir malam; waktu shalat Isya merentang dari titik terbenam matahari ditarik maju sampai dengan gelap malam.
 
Untuk rentang waktu shalat Isya disebutkan pula secara khusus di dalam ayat lain.
 
“Dirikanlah shalat dari terbenamnya matahari sampai gelapnya malam …” (Quran 17:78)
 
Berikutnya kita akan menemukan satu shalat lagi, yaitu shalat “Wustha” yang berarti “pertengahan”.
 
“Jagalah berbagai shalat, dan (khususnya) shalat Wustha, dan berdirilah kalian karena Allah dengan tunduk patuh.” (Quran 2:238)
 
Kita telah mengetahui bahwa variabel yang digunakan Allah dalam menjelaskan waktu shalat Fajar dan shalat Isya adalah "siang" (dua ujung siang), maka ketika Allah menyebut shalat pertengahan, tentulah ia mengacu kepada variabel yang sama, yaitu siang.  Shalat Wustha adalah shalat pada pertengahan siang.
 
Shalat Wustha perlu kita beri perhatian khusus untuk dijaga karena waktunya yang bertepatan dengan puncak aktivitas manusia membuatnya lebih rawan terlalaikan dibandingkan shalat yang lain.
 
Ketika masuk waktu shalat Wustha kita tinggalkan sejenak urusan duniawi kita, dan setelah shalat kita akan kembali menekuni kesibukan masing-masing.
 
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila dipanggil untuk shalat pada hari pekan, bersegeralah kalian untuk  mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.  Kemudian apabila shalat telah diselesaikan, maka bertebaranlah kalian di bumi dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah dengan banyak, mudah-mudahan kalian beruntung.” (Quran 62:9,10)
 
Jadi ada tiga shalat wajib yang disyariatkan Allah di dalam Quran, yaitu Fajar, Wustha, dan Isya.  Waktu untuk shalat Fajar adalah dari munculnya cahaya awal matahari sampai terbit matahari. Waktu untuk shalat Wustha adalah ketika matahari berada di sekitar titik puncaknya. Waktu untuk shalat Isya adalah dari terbenam matahari sampai datang kegelapan malam.
 
Perhitungan fajar dimulai saat posisi matahari berada sekitar 10 derajat di bawah ufuk timur.  Perhitungan untuk gelap malam yang menjadi tanda berakhirnya waktu shalat Isya adalah saat posisi matahari berada sekitar 10 derajat di bawah ufuk barat. Untuk perkiraan lamanya waktu shalat Wustha kita bisa merujuk pada perhitungan yang sama bagi shalat Fajar dan Isya, yaitu pergeseran matahari sekitar 10 derajat.
 
Pergeseran 10 derajat posisi matahari di wilayah-wilayah bumi belahan utara dan selatan berkisar antara satu jam sampai dua jam lebih.  Sedangkan untuk wilayah yang dekat dengan khatulistiwa seperti Indonesia, ia memakan waktu sekitar 40 menit.  Itulah perkiraan lamanya waktu yang tersedia untuk masing-masing shalat.
 
Shalat dilakukan pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Sebuah shalat tidak dapat digeser atau diganti pada waktu shalat yang lain.
 
Tidak pula shalat boleh dilakukan di luar waktunya. Misalnya kita bangun tidur jam tujuh pagi, sedangkan matahari terbit jam enam pagi, maka tidak usah lagi kita bergegas untuk shalat karena sesungguhnya kesempatan untuk shalat Fajar bagi kita pada hari itu sudah hilang.
 
Membersihkan Diri
 
Sekarang kita telah memaklumi kapan waktu-waktu shalat.  Ketika kita akan shalat, yang pertama harus kita lakukan adalah berwudu dengan membasuh muka dan tangan hingga siku, lalu mengusap kepala dan kaki hingga mata kaki.
 
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian telah bangkit untuk shalat, maka basuhlah wajah kalian dan tangan kalian sampai siku, dan usaplah kepala kalian dan kaki kalian sampai kedua mata kaki …” (Quran 5:6)
 
Namun kalau kita dalam keadaan "junub," maka kita harus membersihkan diri lebih dahulu.

"... Dan jika kalian junub, maka bersihkanlah diri kalian..." (Quran 5:6)

"Junub" artinya "jauh" (lihat Quran 4:36 dan 28:11).  Dalam konteks istilah "jauh" dihubungkan dengan perintah membersihkan diri sebagaimana ayat di atas, dapat dipahami bahwa ia adalah konotasi bagi keadaan tidak bersih diri.  Sebagaimana dimaklumi, dalam keadaan tidak bersih diri seseorang akan cenderung menjauhi dan dijauhi orang lain.

Beberapa keadaan tidak bersih diri (junub) diuraikan langsung di dalam surah 5:6 tersebut, yaitu ketika berada dalam perjalanan, sehabis buang air (kecil/besar), dan sehabis menyentuh perempuan dengan syahwat.

Apabila kita berada dalam salah satu keadaan tersebut atau keadaan tidak bersih diri lainnya (termasuk sehabis haid dan nifas bagi perempuan), maka kita harus membersihkan diri terlebih dahulu.

Sebelumnya, membersihkan diri dari junub itu dilakukan dengan mandi (lihat surah 4:43).  Namun ketentuan tersebut telah digantikan oleh ayat yang mengatur hal yang sama yang turun setelahnya, yaitu surah 5:6 di atas.  Maka membersihkan diri itu bisa dilakukan dengan mandi, boleh pula dengan hanya membasuh bagian-bagian tertentu.

Jika kita sedang sakit sehingga tidak nyaman bersentuhan dengan air, atau kita tidak mendapatkan air untuk membersihkan diri dan/atau untuk berwudu, maka sebagai gantinya kita bertayamum.  Dapatkanlah debu tanah yang bersih, lalu usaplah wajah dan tangan dengan debu tersebut.
 
“… dan jika kalian sakit, atau dalam perjalanan, atau salah seorang dari kalian kembali dari kakus, atau kalian telah menyentuh perempuan, lalu tidak mendapatkan air, maka tujulah debu tanah yang baik, lalu usaplah wajah kalian dan tangan kalian dengannya ...” (Quran 5:6)
 
Bagian awal dari perintah berwudu pada surah 5:6 berbunyi, “... telah bangkit untuk shalat.”  Artinya berwudu itu dilakukan pada setiap kali kita hendak shalat. Tidak bisa misalnya kita shalat Wustha tanpa berwudu dengan alasan karena sebelumnya telah berwudu untuk shalat Fajar.
 
Pelajaran lain dari frasa “... telah bangkit untuk shalat” adalah bahwa berwudu itu dilakukan tepat menjelang shalat. Jadi jangan ada pekerjaan lain seperti makan, minum, duduk, atau mengobrol yang menyelingi antara berwudu dengan shalat. Kalau memang masih mau melakukan hal-hal tersebut, lakukanlah sebelum berwudu.
 
Pakaian
 
Kita harus mengusahakan penampilan yang baik untuk shalat.  Pilihlah pakaian yang bagus untuk dikenakan.
 
“Wahai anak cucu Adam, berhiaslah kalian pada setiap (memasuki) masjid …” (Quran 7:31)
 
Sikap Tubuh
 
Sebelum memulai shalat, kita harus tahu bahwa sikap tubuh di dalam shalat adalah berdiri, rukuk, dan sujud.
 
“… Janganlah engkau menyekutukan Aku dengan sesuatu apapun, dan bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang mengelilingi (tawaf), dan orang-orang yang berdiri, dan orang-orang yang rukuk dan sujud.” (Quran 22:26)
 
Urutan yang dimulai dengan berdiri dan diakhiri dengan sujud ditunjukkan oleh praktik shalat Nabi yang dikisahkan di dalam Quran.
 
“Dan apabila engkau di tengah-tengah mereka, kemudian engkau mendirikan shalat bagi mereka, maka hendaklah berdiri sekelompok dari mereka bersama engkau dan hendaklah mereka mengambil senjata-senjata mereka. Kemudian apabila mereka telah sujud, hendaklah mereka pindah ke belakang kalian (berjaga-jaga), dan hendaklah datang kelompok lain yang belum shalat, lalu hendaklah mereka shalat bersama engkau …” (Quran 4:102)
 
Sujud adalah posisi terakhir.  Ketika Quran menceritakan orang-orang yang menjalankan shalat malam pun digambarkan bahwa setelah bersujud mereka kembali berdiri untuk rakaat berikutnya.
 
"dan orang-orang yang melalui malam untuk Tuan mereka dengan bersujud dan berdiri." (Quran 25:64)
 
Jadi tidak ada duduk di dalam shalat.
 
Kiblat
 
Kita shalat menghadap ke arah kiblat, yaitu Masjidil Haram yang berada di kota Mekah, yang di tengah-tengahnya terdapat Ka’bah.
 
“Sungguh Kami melihat wajahmu sering menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka palingkanlah wajah engkau ke arah Masjidil Haram, dan di mana pun engkau berada palingkanlah wajah engkau ke arahnya ...” (Quran 2:144)
 
Apabila kita berada di suatu tempat yang kita tidak dapat mengenal tanda-tanda arahnya, atau berada di perjalanan yang mana arah hadap kendaraan dapat berubah-ubah, maka kita boleh shalat menghadap ke mana saja. Pada hakikatnya ke mana pun kita menghadap di situlah wajah Allah.
 
“Dan kepunyaan Allah timur dan barat, maka kemana pun kalian berpaling maka di sanalah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Meliputi, Mengetahui.” (Quran 2:115)

...bersambung ke bagian 2

(Terakhir diperbarui: 11 Mei 2022)

Share on Facebook

Artikel Terkait: