4.9.08

Allah Atau Tuhan?

Sebelumnya saya pernah mengimbau agar umat Islam menggunakan istilah “Tuhan” sebagai ganti istilah “Allah.”  Alasan saya pada waktu itu adalah karena penggunaan istilah “Allah” dapat menimbulkan salah persepsi manakala umat menganggap “Allah” itu sebagai “Tuhannya orang Islam” sehingga kemudian tanpa disadari terbentuk anggapan bahwa Tuhan itu ada lebih dari satu.

Dalam kerangka pemahaman bahwa “Allah” itu adalah “nama jenis” (common name), bukan “nama diri” (proper name), maka waktu itu saya berpandangan bahwa semestinya ia diterjemahkan ke dalam bahasa kita agar tidak menimbulkan salah persepsi.

Ayat Quran yang dengan cukup kentara menunjukkan konotasi nama jenis dari “Allah” dapat kita temukan pada surah 6 ayat 3 yang berbunyi: “Dan Dialah ‘Allah’ di langit dan di bumi ...”

Ungkapan “Dialah ‘Allah’ di langit dan di bumi” (memperlakukan “Allah” sebagai nama diri sehingga tidak diterjemahkan) terasa ganjil karena seperti mengatakan tentang seorang raja bernama Ahmad yang menguasai Asia dan Afrika dengan ungkapan: “Dia adalah Ahmad di Asia dan di Afrika” (seharusnya, “dia adalah raja di Asia dan di Afrika”).

Maka “Allah” pada ayat di atas mestinya diperlakukan sebagai nama jenis dengan menerjemahkannya menjadi “Tuhan.”  Hal serupa kita temukan pada surah 5:72 di mana “Allah” pada ayat tersebut dengan jelas berkonotasi nama jenis, bukan nama diri.

Namun belakangan saya menemukan bahwa istilah “Allah” dalam bahasa Arab ini mempunyai keunikan karena ternyata ia merupakan nama jenis sekaligus nama diri.  “Allah” adalah istilah dalam bahasa Arab untuk menyebut “Tuhan” sekaligus merupakan nama Tuhan itu sendiri.  Ini ibarat sebutan untuk seorang raja yang juga bernama Raja (tulisan Arab sendiri tidak mengenal huruf kapital).

Konotasi nama diri dapat kita simpulkan dari beberapa ayat Quran yang mengandung perintah untuk bertasbih mengagungkan “nama”-Nya.  “Nama” di sini sepatutnya dimaknai sebagai nama yang sebenar-benar “nama” (yaitu nama diri), karena kalau konotasinya ke nama jenis maka perintahnya cukup “agungkanlah Tuanmu” (yaitu Tuhan) tanpa perlu tambahan “nama.”

“Maka agungkanlah nama Tuanmu Yang Agung.” (Quran 56:74 [lihat pula 56:96, 69:52, 87:1])

Kalau kita perhatikan ayat-ayat Quran, “nama” yang disebut dalam ucapan tasbih baik itu yang redaksinya diucapkan oleh manusia maupun yang diucapkan oleh Tuhan sendiri adalah “Allah” (12:108, 21:22, 59:23, dll).

Hal yang sama kita temukan pada perintah untuk menyebut “nama”-Nya.

“Dan sebutlah nama Tuanmu pada awal pagi dan petang.” (Quran 76:25)

Nama yang disuruh untuk disebut adalah “Allah.”

“Wahai orang-orang yang beriman, sebutlah ‘Allah’ dengan penyebutan yang banyak,” (Quran 33:41)

Berdasarkan perspektif baru ini, bahwa “Allah” merupakan nama jenis sekaligus nama diri, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menggunakan istilah “Allah.”  Kita bisa menggunakan “Allah” maupun “Tuhan” dalam pengucapan sehari-hari.

Untuk pengucapan yang berkonotasi nama jenis, penggunaan “Tuhan” akan lebih memberi kejelasan.  Untuk penyebutan langsung kepada diri-Nya di dalam shalat, zikir, dan tasbih, kita gunakan “Allah.”

(Terakhir diperbarui: 11 Maret 2019)

Share on Facebook

Artikel Terkait: