19.7.11

Harta Dalam Perkawinan

Intermeso
Seorang petani Serbia menggunakan mesin gerinda untuk memotong dua peralatan dan mesin-mesin pertaniannya untuk memenuhi ketetapan pengadilan bahwa dia harus membagi semua kekayaannya dengan mantan istrinya, media lokal melaporkan hari Kamis.
Branko Zivkov, 76, mengatakan kepada harian Kurir Beograd dia siap untuk memberi istrinya Vukadinka bagian yang setara dari semua yang telah dihasilkan dalam 45 tahun perkawinan mereka, namun geram ketika diperintahkan untuk memberikan setengah dari alat pertaniannya.
Alih-alih, dia beli sebuah gerinda dan memotong dua semua peralatannya, termasuk yang besar-besar seperti timbangan ternak, sebuah garu dan mesin tabur. 
“Saya masih belum memutuskan bagaimana membagi sapi,” katanya kepada koran.  “Dia (mantan istri) harus mengatakan apa yang dia mau--bagian yang ada tanduknya atau bagian yang ada ekornya.” (Reuters)

Salah satu yang sering menjadi persoalan ketika terjadi perceraian adalah masalah harta.  Sudah umum kita saksikan bagaimana pasangan yang bercerai “bertarung” sampai berlarut-larut memperebutkan harta di pengadilan.

Untuk mengurai persoalan harta dalam perkawinan, kita perlu meninjau kembali apa sejatinya perkawinan itu sendiri.  Sebagaimana yang pernah dibahas pada tulisan berjudul “Ketentuan Perkawinan dalam Islam,” pada dasarnya perkawinan merupakan sebuah ikatan yang dilahirkan oleh perjanjian.  Referensinya adalah Quran surah 2:235 dan 4:21.

Sebuah ikatan yang lahir dari perjanjian tentu dibatasi oleh apa-apa yang diperjanjikan saja.  Kita ambil contoh perjanjian kerja.  Ketika dua orang mengadakan perjanjian kerja maka pekerja wajib menunaikan tugas dari majikannya, dan majikan wajib membayar upah pekerjanya.  Tidak ada dasarnya bahwa ikatan majikan-pekerja tersebut mengakibatkan hal-hal lain di luar pokok perjanjian, seperti misal menyatunya harta mereka.

Begitu pula dengan perkawinan.  Ada batasan ikatan yang jelas antara kita dengan pasangan kita yang sebelumnya merupakan “orang lain” itu.  Dan kalau kita perhatikan ayat-ayat Quran, batasan kewajiban suami-istri yang mestinya menjadi pokok perikatan suatu perkawinan adalah: bahwa suami wajib memberi nafkah lahir batin kepada istri sesuai kemampuan, dan istri wajib mematuhi suami dalam batas kepatutan.

Dengan demikian, penyatuan antara laki-laki dan perempuan dalam perkawinan bisa kita istilahkan sebagai “penyatuan terbatas.”  Bukan “penyatuan mutlak.”

Jiwa dari “penyatuan mutlak” dapat kita telusuri di Bibel (mis: Matius 19:5--6) yang mengatakan bahwa perkawinan telah menjadikan laki-laki dan perempuan itu satu daging.  Dikatakan bahwa mereka bukan lagi dua, melainkan satu.  Dari kerangka berpikir yang demikian wajar jika kemudian lahir konsep penyatuan harta dalam perkawinan sebagaimana yang diterapkan di negara-negara Barat.  Hukum perkawinan Indonesia saat ini pun mengadopsinya lewat ketentuan “harta bersama.”

Ajaran Allah sebagaimana yang tercantum di dalam Quran tidak menganut paham “penyatuan mutlak” ala Bibel.  Quran memandang suami dan istri tetap sebagai dua subjek, yang mengikatkan diri dalam perkawinan.  Pada dasarnya perkawinan tidak mempengaruhi kedaulatan si suami dan si istri atas harta mereka masing-masing.

Adanya istilah “pemberian” dari suami, sebagaimana misalnya disebut dalam Quran surah 2:229 dan 4:20-21 menunjukkan suatu keterpisahan harta.  Kalau harta suami adalah juga merupakan harta istri tentulah tidak akan ada istilah “memberi.”

Prinsip ketiadaan penyatuan harta dalam perkawinan itu adil, dan akan mencegah terjadinya kisruh perebutan harta sebagaimana yang kita lihat di berbagai kasus perceraian.

Di dalam rumah tangga tertentu, mungkin suami menjalankan bisnis yang mana istri turut serta sebagai pengurusnya.  Kalau demikian halnya, maka suami hendaknya memberikan imbalan/gaji kepada istrinya itu di luar nafkah yang memang sudah menjadi kewajibannya.  Atau jika suami dan istri mendirikan bisnis bersama, tetapkanlah pembagian keuntungan (dan kerugian) secara proporsional sebagaimana lazimnya sebuah perkongsian bisnis.

Sangat nyata ketidakadilan pada kebanyakan kasus perceraian yang menganut konsep “penyatuan harta.”  Mantan istri (atau mantan suami) dapat begitu saja mengambil setengah kekayaan mantan pasangannya melalui proses di pengadilan.  Tindakan memakan harta dengan tanpa hak seperti itu dilarang Allah.  Namun ketentuan hukum yang dibuat manusia malah membuka peluang berlakunya kezaliman tersebut.

“Dan janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil, dan kalian mengajukannya kepada para hakim supaya kalian dapat memakan sebagian dari harta orang dengan (jalan) dosa, padahal kalian mengetahui.” (Quran 2:188)

Satu hal lagi yang perlu diingat terkait dengan persoalan harta dalam perkawinan adalah bahwa apa-apa yang diberikan oleh suami kepada istrinya bukanlah suatu “pemberian putus,” melainkan “pemberian bersyarat.”  Kepemilikan istri atas barang-barang tersebut terikat pada syarat bahwa dia tidak mengajukan cerai terhadap suaminya.  Apabila seorang istri mengajukan cerai, dia wajib mengembalikan barang-barang pemberian dari suaminya.

“… Dan tidak halal bagi kalian (suami) mengambil (kembali) sesuatu dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka (istri) kecuali bahwa keduanya khawatir tidak dapat melaksanakan batas-batas (hukum) Allah. Maka jika kalian khawatir bahwa keduanya tidak dapat melaksanakan batas-batas (hukum) Allah, maka tidak ada kesalahan pada keduanya atas tebusan yang dia (istri) bayarkan …” (Quran 2:229)

Maka dari itu pengalihan harta benda pemberian suami haruslah seizin suami, karena konsekuensinya barang yang sudah dialihkan tersebut akan tidak dapat dikembalikan oleh istri manakala dia mengajukan cerai terhadap suaminya.

Jauhnya manusia dari petunjuk Allah menjadikannya tidak dapat membaca butir-butir keadilan yang terkandung di dalam kitab-Nya.  Padahal, penerapan suatu aturan yang tidak sejalan dengan kaidah kebenaran dan keadilan pasti akan bermuara pada kerusakan.

Tidak ditegakkannya ketentuan yang benar dan adil dalam persoalan harta dalam perkawinan dapat meninggalkan kesan negatif terhadap lembaga perkawinan itu sendiri.  Lambat laun orang akan keberatan terhadap perkawinan karena dianggap berpotensi menjadi “sumber masalah” dalam hidup.  Kalau sudah demikian, dorongan bagi seks bebaslah yang akan mengemuka.

Di sebagian masyarakat Barat hal itu sudah terjadi.  Daripada kawin, mereka lebih memilih untuk “hidup bersama” tanpa ikatan.  Dan salah satu alasan mengapa pria-pria di sana enggan mengikat perkawinan adalah karena “risiko keuangan” dalam perceraian.

(Terakhir diperbarui: 12 Maret 2019)

Share on Facebook

Artikel Terkait: