28.4.14

Riba

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba berlipat ganda, dan takutlah kepada Allah mudah-mudahan kalian beruntung.” (Quran 3:130)

Kata “riba” secara harfiah berarti “tambahan/lebihan.” Dalam praktiknya riba merupakan tambahan yang dikenakan atas pinjaman uang. Semisal meminjam uang 100 harus dikembalikan 150, maka tambahan yang 50 adalah riba. Bahasa Indonesia mengistilahkan riba sebagai “bunga.” Riba yang dihasilkan dari meminjamkan uang diseumpamakan dengan bunga yang dihasilkan dari menanam tumbuhan.

Allah mengharamkan riba bahkan menantang perang kepada para pelaku riba.

Kepada mereka yang selama ini melakukan kegiatan membungakan uang alias riba, Allah memerintahkan untuk segera meninggalkan perbuatan tersebut. Apabila masih ada piutang yang belum dipungut, cukuplah tagih modalnya saja tanpa bunga.

“Wahai orang-orang yang beriman, takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah apa-apa yang tersisa dari riba jika kalian orang-orang beriman. Maka jika kalian tidak perbuat, maka umumkanlah perang dari Allah dan rasul-Nya. Dan jika kalian bertobat, maka bagi kalian pokok harta kalian. Kalian tidak menzalimi dan tidak dizalimi ...” (Quran 2:278-279)

Dalam memungut sisa utang hendaknya orang yang berpiutang memberi kelonggaran waktu apabila orang yang berutang belum mempunyai kesanggupan melunasi. Lebih terpuji lagi jika orang yang berpiutang merelakan saja sebagian atau seluruh sisa utang tersebut.

“Dan jika (orang yang berutang) mempunyai kesulitan, maka berilah tangguh sampai berkemudahan. Dan jika kalian menyedekahkan, (itu) lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui.” (Quran 2:280)

Adapun hasil riba yang telah diperoleh pada masa lalu dapat tetap dimiliki.

“… Allah menghalalkan jual beli, dan mengharamkan riba. Maka barang siapa yang telah sampai kepadanya nasihat dari Tuannya, lalu dia berhenti, maka baginya apa yang telah lalu dan urusannya (terserah) kepada Allah. Dan barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Quran 2:275)

Bunga Bank
Ayat-ayat tentang riba di atas mengarah pada aktivitas pihak yang secara langsung meminjamkan uang kepada orang yang memerlukan. Pelakunya dalam hal ini adalah rentenir, baik itu yang perseorangan maupun yang berbentuk lembaga seperti bank.

Lalu bagaimana dengan kita yang menerima bunga dari bank setiap bulannya? Meskipun namanya “menabung,” sebenarnya hubungan kita dengan bank adalah hubungan antara pemberi pinjaman dan peminjam. Kita meminjamkan uang kepada bank dan mendapatkan bunga dari uang yang kita pinjamkan tersebut (bank kemudian meminjamkan kembali uang tersebut ke masyarakat dengan bunga yang lebih tinggi).

Jadi jelas bahwa bunga yang ditambahkan bank ke saldo kita adalah riba. Maka janganlah kita menabung di bank dengan niat mendapatkan bunga. Jalan untuk mengembangkan uang adalah dengan perniagaan dan sedekah, bukan dengan membungakannya.

Untuk terhindar dari riba idealnya tentu kita tidak menabung di bank. Namun dalam kondisi kita memerlukan jasa perbankan untuk kemudahan bertransaksi maka tidak mengapa mempunyai rekening bank asal kita tidak berniat untuk membungakan uang dan tidak mengambil bunga yang ditambahkan oleh bank ke saldo kita.

Bagi kaum muslim yang bekerja di bank silakan mengajukan pengunduran diri dan mencari pekerjaan lain yang halal.

Bank Syariah
Akhir-akhir ini marak apa yang disebut sebagai perbankan syariah yang mengklaim bahwa kegiatan mereka bebas riba. Sebenarnya rancu untuk mengadakan versi “syariah” dari bank, karena esensi bank itu sendiri adalah lembaga pembiayaan (menarik keuntungan dari meminjamkan uang). Selama bank masih berfungsi sebagai lembaga pembiayaan, maka selama itu pula ia otomatis merupakan organisasi riba.

Tanpa adanya perombakan atas fungsi pembiayaan, kehadiran bank syariah dapat dilihat semata bertujuan untuk mengakomodasi kalangan yang alergi dengan istilah riba. Guna meraih pasar potensial tersebut maka istilah-istilah yang berkonotasi riba seperti “bunga” dihilangkan, dan istilah-istilah yang berkonotasi islami seperti “syariah” ditambahkan.

Jadi bank syariah adalah wujud kesadaran marketing, alih-alih kesadaran spiritual. Maka tidak heran kalau produk perbankan syariah kental dengan nuansa riba meski dinamai dengan istilah-istilah yang terkesan halal.

Untuk lebih jelasnya mari kita cermati dua produk perbankan syariah sebagai contoh, yaitu “mudharabah” dan “murabahah.

Mudharabah
Mudharabah adalah penyediaan modal usaha dengan sistem bagi hasil. Misalnya A menyediakan modal usaha untuk dikelola oleh B. Keuntungan dari usaha tersebut nantinya akan dibagi antara A dan B sesuai porsi yang telah disepakati.

Ilustrasi mudharabah asli: A membeli sepetak sawah beserta benih, pupuk, dan peralatan yang diperlukan. Untuk pengelolaannya A mempercayakan kepada B dengan kesepakatan bahwa mereka akan berbagi hasil panen 50:50.

Ilustrasi “mudharabah” bank syariah: A menyediakan dana modal untuk B membeli sepetak sawah beserta benih, pupuk, dan peralatan yang diperlukan. A dan B sepakat bahwa mereka akan berbagi hasil panen 50:50 dan bahwa B akan mencicil pengembalian dana modal kepada A selama satu tahun.

Dua pola kerjasama di atas sangat jelas berbeda. Skema mudharabah yang asli merupakan kerjasama antara pemilik modal di satu pihak dan pengelola usaha di pihak lain. Sedangkan skema versi bank syariah sejatinya merupakan pinjam-meminjam uang dengan bunga tidak tetap, hanya saja disamarkan dengan istilah “mudharabah.

Kalau pada bank konvensional nasabah mengembalikan modal plus bunga tetap sekian persen, pada bank syariah nasabah mengembalikan modal plus “bunga” fluktuatif yang jumlahnya tergantung laba usaha. Namun intinya sama saja, yaitu bank meminjamkan uang dan menarik keuntungan dari peminjaman uang tersebut. Apa namanya itu kalau bukan riba?

Murabahah
Selanjutnya kita lihat produk bank syariah yang dinamakan murabahah.

Murabahah adalah sebentuk jual beli yang mana pihak penjual menginformasikan kepada pembeli berapa harga pokok dan berapa keuntungan yang dia ambil. Misalnya A menjual satu unit rumah kepada B seharga 150 dengan memberitahu B bahwa modalnya adalah 100 dan keuntungan yang dia ambil adalah 50.

Dalam praktik bank syariah contohnya nasabah menyatakan minat untuk membeli sebuah rumah namun tidak memiliki dana tunai untuk melunasinya. Bank kemudian akan membeli rumah tersebut dari pengembang dan menjualnya kembali kepada nasabah dengan harga lebih tinggi namun pembayarannya dapat dicicil. Dalam hal ini nasabah mengetahui berapa harga pokok rumah tersebut, dan berapa keuntungan yang diambil oleh bank.

Pertanyaannya apakah benar bank selaku lembaga pembiayaan dapat melakukan kegiatan perdagangan seperti jual beli rumah dan jual beli mobil? Kalau dalam bertransaksi dengan nasabah bank benar-benar bertindak sebagai pedagang yang menjual benda miliknya, maka secara syariat tidak ada masalah.

Namun jika yang sebenarnya melakukan pembelian adalah si nasabah dengan pembiayaan dari bank yang harus dilunasi dalam jumlah lebih besar, maka hal tersebut merupakan pembungaan uang alias riba.

Prinsip riba dalam bank syariah sebenarnya terbaca dalam undang-undang perbankan syariah itu sendiri (UU No. 21 tahun 2008).

Produk-produk perbankan syariah seperti mudharabah, murabahah, dan lain-lain merupakan wujud dari pembiayaan. Apakah pembiayaan itu? Pasal 1 butir 25 undang-undang tersebut menyatakan: “Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan […] yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu ...

Definisi di atas telah dengan terang benderang menunjukkan bahwa bisnis bank syariah pada dasarnya adalah peminjaman uang, tidak berbeda dengan bank konvensional. Dan bisnis peminjaman uang adalah esensi dari riba.

Maka dalam operasional bank syariah akan terdapat kontradiksi antara konsistensi terhadap undang-undang dan terhadap syariah. Sebagai contoh, dalam konteks “murabahah” apakah sebenarnya bank menjual rumah kepada nasabah atau meminjamkan uang kepada nasabah untuk membeli rumah? Jika bank menjual rumah kepada nasabah, berarti bank menyalahi prinsip pembiayaan. Jika bank meminjamkan uang kepada nasabah untuk membeli rumah (agar kemudian dikembalikan dalam jumlah yang lebih besar), berarti bank menyalahi prinsip syariah.

Ini kembali lagi pada apa yang sudah disinggung di awal bahwa rancu mengadakan versi “syariah” dari bank jika konsep bank itu sendiri masih merupakan lembaga pembiayaan.

Pembela bank syariah mungkin berdalih bahwa secara akad apa yang dijalankan bank syariah tersebut sah, karena bank tidak mengakadkan pinjam meminjam uang melainkan pemodalan sistem bagi hasil, jual beli sistem cicilan, dan lain-lain.

Mereka lupa bahwa akad tidak bisa lepas dari substansi. Meskipun akad yang diucapkan adalah akad nikah misalnya, tapi kalau si perempuan masih berstatus istri orang maka itu merupakan perzinaan, bukan pernikahan. Begitu pun walau akad yang dinyatakan misalnya adalah akad jual-beli tapi substansinya adalah pinjam meminjam uang plus tambahan, maka itu merupakan riba, bukan jual-beli.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa yang namanya “bank syariah” itu dalam kenyataannya tidak bebas riba. Oleh karenanya untuk saat ini kita masih harus menyikapi “bank syariah” sama dengan sikap kita terhadap bank konvensional.

Masa Depan Bank
Ketika sistem riba telah dihapuskan, bank tidak otomatis mati. Ia tetap dapat menjalankan usaha dengan berbasis pada jasa keuangan non-riba seperti jasa setoran, penggajian, transfer, fasilitas kartu debit, fasilitas kotak deposit, fasilitas perbankan elektronik, dan lain-lain.

Saldo nasabah (penyimpan uang) tidak lagi akan bertambah seiring waktu, melainkan akan mengalami pengurangan demi pengurangan terkena potongan biaya jasa perbankan.

Masalah keterbatasan pendanaan akan diselesaikan dalam konteks bisnis riil, bukan dengan riba.

Orang yang ingin membeli rumah, namun tidak memiliki cukup uang untuk melunasinya secara tunai, dapat membeli secara angsuran langsung ke pihak penjual.

Mereka yang memerlukan modal usaha dapat langsung berhubungan dengan pihak yang berminat untuk menanamkan modal.

Share on Facebook

Artikel Terkait: