7.7.14

Ketidakadilan dalam Poligami

“Dan jika kalian khawatir bahwa kalian tidak akan adil pada anak-anak yatim itu, maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang baik bagi kalian dua, dan tiga, dan empat.  Kemudian jika kalian khawatir bahwa kalian tidak akan adil, maka (kawinilah) satu (saja), atau apa yang tangan kanan kalian miliki.  Yang demikian itu lebih dekat bahwa kalian tidak akan berbuat tidak adil.” (Quran 4:3)

Sebagaimana yang telah kita maklumi dari tulisan berjudul “poligami,” ketidakadilan pasti akan terjadi di dalam rumah tangga poligami.  Dan kita tahu bahwa ketidakadilan itu dekat dengan kezaliman.

Pertanyaannya, terkait dengan ketidakadilan yang terjadi, apakah suami yang berpoligami otomatis zalim?

Meski tidak akan bisa adil, suami yang berpoligami tidak serta merta bisa dikatakan zalim, karena tolok ukur zalim atau tidaknya seseorang adalah pengindahan terhadap batasan-batasan (hukum) Allah.

“... barang siapa melanggar batasan-batasan (hukum) Allah, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Quran 2:229)

Batasan Allah untuk para suami adalah bahwa mereka harus menunaikan kewajiban (lahir dan batin) kepada istri-istri mereka tanpa boleh ada istri yang terabaikan.  Batasan tersebutlah yang kita gunakan untuk menilai apakah seorang suami zalim atau tidak.

Misalnya seorang laki-laki memiliki dua orang istri.  Kepada salah seorang istrinya dia membelikan pakaian seharga 400 ribu, sedangkan untuk istrinya yang lain dia membelikan pakaian seharga 200 ribu.  Si suami jelas tidak adil karena membelikan pakaian dengan kelas yang berbeda.  Namun dia tidak bisa dikatakan zalim karena walau bagaimanapun dia telah memenuhi kewajibannya untuk membelikan pakaian yang layak.

Si suami baru dikatakan zalim jika ada istri yang dia biarkan saja dengan pakaian kumal padahal dia sanggup membelikan pakaian yang layak untuknya.

Contoh lain misalnya dalam hal pembagian hari bersama jika masing-masing istri ditempatkan di rumah yang berbeda.  Jika dalam sepekan suami dua hari di rumah salah seorang istri dan lima hari di rumah istri yang lain, maka dia tidak adil karena tidak membagi waktu dengan seimbang.  Tapi dia juga tidak zalim karena bagaimanapun dia telah memberi kebersamaan yang masih bisa dikatakan memadai.

Lain hal kalau misalnya ada istri yang tidak dikunjungi si suami sampai berbulan-bulan tanpa alasan, maka dia zalim karena telah membiarkan istrinya tersebut seperti terkatung-katung.

Khawatir Bahwa …

Satu hal lagi yang perlu dijelaskan terkait ketidakadilan dalam poligami adalah konteks kalimat “jika kalian khawatir bahwa kalian tidak akan adil ...” yang terdapat pada bagian akhir surah 4:3.

Kalimat tersebut ada kemungkinan dipahami sebagai kondisi dimana seseorang tidak tahu pasti apakah dirinya bisa adil atau tidak.  Dan kalau dihubungkan dengan surah 4:129 yang menyatakan bahwa suami yang berpoligami tidak akan bisa adil, maka bisa muncul kesimpulan yang keliru bahwa poligami tidak boleh dilakukan, alias terlarang.

Sebelumnya perlu saya kemukakan bahwa tidak mungkin poligami itu terlarang karena kenyataannya banyak para nabi dan rasul yang melakukannya, dan poligami itu sendiri diatur di dalam Quran.

Contoh pengaturan poligami adalah bahwa tidak boleh ada istri yang sampai terabaikan, sebagaimana terbaca di surah 4:129.  Adanya pengaturan tersebut menunjukkan bahwa poligami dibolehkan, karena sesuatu yang terlarang mustahil akan ada pengaturan pelaksanaannya.

Mengenai kalimat “jika kalian khawatir bahwa kalian tidak akan adil ...,” perlu kita ketahui bahwa gaya tutur “khawatir bahwa …” yang banyak terdapat di dalam Quran mempunyai dua konteks.

Konteks pertama, mengkhawatirkan sesuatu yang dianggap mungkin akan terjadi.  Contohnya bisa kita lihat pada Quran surah 19 ayat 45 dimana Nabi Ibrahim khawatir kalau-kalau bapaknya akan mendapat azab Allah.

“Wahai ayahku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan disentuh azab dari Yang Pengasih, sehingga kamu menjadi teman bagi setan (di neraka).” (Quran 19:45)

Azab yang dikhawatirkan Nabi Ibrahim tersebut masih berupa kemungkinan.  Bisa terjadi bisa juga tidak, tergantung apakah bapak beliau akan tetap ingkar atau mau tobat.

Konteks ke dua, mengkhawatirkan sesuatu yang dianggap pasti akan terjadi.  Contohnya dapat kita lihat pada Quran surah 6 ayat 51 yang menyebutkan tentang orang-orang yang khawatir bahwa mereka akan dikumpulkan kepada Allah (pada hari kiamat nanti).

“Dan peringatkanlah dengannya orang-orang yang khawatir bahwa mereka akan dikumpulkan kepada Tuan mereka; tidak ada bagi mereka pelindung dan pemberi syafaat selain dari-Nya, mudah-mudahan mereka bertakwa.” (Quran 6:51)

Dalam hal ini mereka mengkhawatirkan sesuatu yang mereka yakini pasti akan terjadi, bukan sesuatu yang dianggap masih berupa kemungkinan.

Kembali ke surah 4:3, karena mustahil poligami itu terlarang, maka kalimat “khawatir bahwa ...” pada bagian akhir ayat tersebut harus dimaknai dalam konteks yang ke dua.  Yaitu mengkhawatirkan ketidakadilan yang sudah pasti akan terjadi dalam poligami.  Bukan khawatir kalau-kalau tidak akan bisa adil.

Share on Facebook

Artikel Terkait: