3.12.14

Kedudukan Laki-Laki dan Perempuan

Ajaran Islam tidak mengenal konsep kesetaraan mutlak antara laki-laki dan perempuan. Ketentuan-ketentuan Allah di dalam Quran menunjukkan adanya pembedaan antara laki-laki dan perempuan setidaknya dalam tiga hal.

Pertama, dalam kesaksian utang-piutang. Dalam urusan utang-piutang, kesaksian seorang perempuan bernilai separuh dari kesaksian laki-laki.

“... dan persaksikanlah oleh dua orang saksi laki-laki di antara kalian. Maka jika tidak ada dua orang laki-laki, maka seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari siapa yang kalian senangi di antara saksi-saksi itu, agar jika salah seorang dari keduanya keliru maka yang seorang lagi akan mengingatkan ...” (Quran 2:282)

Pembedaan ini khusus berlaku dalam kesaksian utang-piutang saja, dan tidak dalam kesaksian perkara-perkara lain.

Kita bisa lihat pada ayat mengenai saksi wasiat kematian (5:106), saksi perceraian (65:2), saksi penyerahan harta anak yatim (4:6), dan saksi perzinaan (4:15, 24:4-9), kesemuanya tidak memperbedakan antara kesaksian laki-laki dan perempuan.

Penelitian menemukan adanya perbedaan karakteristik antara otak laki-laki dan otak perempuan yang berakibat pada perbedaan kemampuan dalam hal-hal tertentu. Contohnya, laki-laki cenderung kurang dalam kemampuan bahasa, di lain pihak perempuan cenderung kurang dalam kemampuan geometri dan matematika. Berpijak dari fakta adanya perbedaan semacam itu, mungkin saja dalam urusan utang piutang ingatan perempuan rawan keliru sehingga dibutuhkan dua orang saksi perempuan yang dapat saling mengingatkan sebagai ganti dari seorang saksi laki-laki.

Ke dua, dalam harta warisan. Allah mewasiatkan bahwa bagian anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan. Demikian pula bagian untuk suami yang ditinggal wafat oleh istrinya adalah dua kali lipat dibandingkan dengan bagian istri yang ditinggal wafat oleh suaminya (lihat Quran surah 4 ayat 11 dan 12).

Dilebihkannya laki-laki atas perempuan dalam bagian harta warisan ada relevansinya dengan peran laki-laki sebagai kepala dalam rumah tangga yang bertanggung jawab untuk menafkahi keluarga.

Ke tiga, dalam rumah tangga. Allah menentukan bahwa para suami adalah pemimpin bagi istri-istri mereka.

“Para laki-laki adalah pemimpin atas para perempuan dengan sebab Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan dengan sebab mereka telah memberi nafkah dari harta mereka ...” (Quran 4:34)

Sebagai pemimpin dalam rumah tangga, suami berhak menuntut kepatuhan dari istrinya dalam batas-batas kepatutan. Dan demi terwujudnya kepatuhan tersebut, suami berwenang mengambil tindakan tegas terhadap istri yang membangkang.

Berperan sebagai pemimpin bukan berarti suami diuntungkan sendiri, karena sejatinya hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin itu bersifat timbal balik. Suami diberi wewenang kepemimpinan, namun dia berkewajiban untuk menafkahi istri dan anaknya. Sebaliknya, istri dituntut untuk patuh kepada suaminya namun dia tidak perlu susah payah mencari nafkah.

Mengapa laki-laki, dan bukan perempuan, yang menjadi pemimpin dalam rumah tangga?

Sebagaimana yang kita baca pada Quran surah 4 ayat 34 yang dikutip di atas, laki-laki ditetapkan menjadi pemimpin atas perempuan karena dua hal.

Pertama, karena kelebihan yang dimilikinya. Kelebihan laki-laki yang dapat dengan mudah teramati adalah dalam hal fisik dan akal.

Kelebihan laki-laki atas perempuan dalam hal fisik kiranya sudah tidak dipertanyakan lagi. Secara umum laki-laki memiliki tenaga lebih kuat, dan berpostur lebih tinggi daripada kaum perempuan.

Tentang keunggulan akal, saya melihat bahwa laki-laki berada di atas perempuan dalam aspek daya cipta (kreativitas). Meski dalam prestasi akademik perempuan bisa mengimbangi laki-laki, namun dalam aspek daya cipta laki-laki berada di atas perempuan. Penemu di berbagai bidang, perumus konsep-konsep fundamental, dan pendiri korporasi-korporasi besar sepanjang masa didominasi oleh kaum laki-laki. Dan kalau kita cari tahu aspek apa dari akal yang membawa manusia dari era primitif menuju era serba canggih, jawabannya adalah aspek daya cipta tersebut.

Uraian ini tidak bermaksud mengecilkan kaum perempuan, melainkan sekadar mencari tahu kelebihan apa kiranya yang dimiliki oleh kaum laki-laki terkait dengan pernyataan Allah di Quran 4:34. Di dalam aspek lain tentu perempuan pun memiliki kelebihan atas laki-laki meski tidak sesignifikan kelebihan yang dimiliki oleh laki-laki atas perempuan.

Itu tadi adalah alasan kepemimpinan laki-laki yang pertama.

Alasan kepemimpinan laki-laki yang ke dua adalah karena nafkah yang diberikannya. Perannya sebagai penanggung nafkah memberinya landasan moril untuk bertindak sebagai “kepala” di dalam rumah tangga.

Dari uraian di atas jelas bahwa Allah menetapkan adanya pembedaan tertentu antara laki-laki dan perempuan. Sikap kita selaku orang yang berserah diri (muslim) tentu saja menerima pembedaan yang ditetapkan Allah tersebut, dan tidak termakan oleh gagasan kesetaraan jender yang dikarang-karang manusia.

Pembedaan antara laki-laki dan perempuan di atas sesungguhnya lebih cenderung pada pembagian peran dalam menjalani kehidupan duniawi ini saja. Pada tataran yang lebih hakiki, yaitu kesempatan meraih ampunan Allah dan surga-Nya, laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang setara.

“Sesungguhnya laki-laki yang berserah diri dan perempuan yang berserah diri, laki-laki yang beriman dan perempuan yang beriman, laki-laki yang tunduk patuh dan perempuan yang tunduk patuh, laki-laki yang benar dan perempuan yang benar, laki-laki yang sabar dan perempuan yang sabar, laki-laki yang tunduk dan perempuan yang tunduk, laki-laki yang bersedekah dan perempuan yang bersedekah, laki-laki yang berpuasa dan perempuan yang berpuasa, laki-laki yang menjaga kemaluan mereka dan perempuan yang menjaga (kemaluan mereka), laki-laki yang banyak mengingat Allah dan perempuan yang (banyak) mengingat (Allah), Allah menjanjikan bagi mereka ampunan dan imbalan yang besar.” (Quran 33:35)

Share on Facebook

Artikel Terkait: