24.1.15

Hukum Islam Dalam Konteks Sistem Hukum Nasional

”... barang siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (Quran 5:44)
 
”... barang siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang zalim.” (Quran 5:45)
 
”... barang siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang fasik.” (Quran 5:47)
 
Rangkaian ayat-ayat di atas dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa siapa yang memutuskan suatu perkara dengan tidak berdasarkan kitab Allah, maka dia mendapat tiga predikat sekaligus: kafir, zalim, dan fasik.
 
Penggalan ayat-ayat di atas dalam redaksional lengkapnya mengacu pada perintah untuk menerapkan hukum Taurat dan hukum Injil.  Secara lebih spesifik penekanannya adalah berkaitan dengan hukum pidana.  Sebagai contoh, di surah 5:45 disebutkan bahwa nyawa dibalas nyawa, mata dibalas mata, dan seterusnya.  Adapun perintah untuk menerapkan hukum Quran terdapat pada ayat selanjutnya sebagaimana di bawah ini.
 
”Dan Kami menurunkan kepadamu kitab dengan benar, yang membenarkan kitab yang sebelumnya dan menjaganya. Maka putuskanlah di antara mereka dengan apa yang Allah turunkan ...” (Quran 5:48)
 
Predikatnya sudah jelas, yaitu kafir, zalim, dan fasik.  Selanjutnya kita perlu mengetahui kepada siapa predikat tersebut dialamatkan.  Apakah ketika hukum Allah tidak diberlakukan di suatu negeri maka seluruh penduduknya otomatis menyandang predikat kafir, zalim, dan fasik?
 
Penyebutan kafir, zalim, dan fasik oleh Allah sebagaimana ayat-ayat di atas dialamatkan kepada pemutus hukum.  Dalam praktiknya secara langsung, ia adalah para hakim.  Namun hakim pun hanya memutus berdasarkan apa yang tertulis di dalam kitab undang-undang.  Dengan kata lain, sebelum diaplikasikan oleh hakim dalam kasus nyata, hukuman tersebut sebenarnya telah ”diputuskan” pada tingkat pembuat undang-undang, yang di Indonesia mandatnya ada di tangan presiden bersama dengan DPR.
 
Jadi dalam konteks sistem hukum Indonesia yang terancam kena predikat kafir, zalim, dan fasik tersebut adalah presiden, anggota DPR, dan hakim.
 
Sejatinya hukum Quran tidak harus diberlakukan untuk semua kalangan.  Pada ayat-ayat di atas kita bisa membaca bahwa kaum Yahudi diperintahkan untuk menerapkan hukum Taurat, kaum Nasrani diperintahkan untuk menerapkan hukum Injil, dan kaum Muslim diperintahkan untuk menerapkan hukum Quran.
 
Pada ayat yang lain Nabi Muhammad diberi pilihan oleh Allah untuk menolak menghakimkan orang-orang Yahudi yang datang kepada beliau.  Hal ini menandakan bahwa Nabi pada saat itu bukanlah pemegang otoritas tunggal dalam mengadili.  Masih ada pengadil lain selain beliau yang dapat dimintakan putusannya.
 
”... jika mereka datang kepadamu, maka berilah putusan di antara mereka atau berpalinglah dari mereka; dan jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan membahayakanmu sedikit pun.  Dan jika kamu menghakimi (perkara mereka), maka putuskanlah di antara mereka dengan adil.  Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” (Quran 5:42)
 
Tidak ada unifikasi hukum pada masa Nabi, karena tiap kalangan memiliki hukum dan hakimnya masing-masing.  Dengan kondisi yang demikian, penerapan hukum Quran menjadi lebih mudah karena keberlakuannya terbatas pada masyarakat yang relatif homogen.
 
Masalah baru timbul ketika politik hukum sebuah negara yang majemuk menghendaki satu hukum pidana nasional yang berlaku untuk semua kalangan.  Kalangan Islam—sesuai tuntunan agamanya—akan menghendaki agar hukum Quran yang diterapkan.  Di lain pihak kalangan non-Islam mungkin akan menghendaki hukum yang lain dari apa yang tercantum di dalam Quran.
 
Bercermin dari apa yang berlaku pada masa Nabi, solusi untuk keadaan tersebut adalah dengan tidak memaksakan suatu unifikasi hukum.  Hukum pidana nasional tetap dibentuk, namun dengan membuka peluang adanya pengecualian bagi daerah tertentu yang ingin menerapkan hukum dengan corak berbeda.
 
Diadakan pula aturan yang memungkinkan seorang hakim untuk menolak menangani perkara yang akan memaksanya membuat putusan yang tidak sesuai dengan keyakinan yang dianutnya.
 
Dengan komposisi penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam, maka sewajarnya hukum nasional yang berlaku secara umum adalah hukum Quran.  Ini juga sejalan dengan kenyataan bahwa presiden dan kebanyakan anggota DPR beragama Islam, dan mereka berkepentingan untuk tidak disebut kafir, zalim, dan fasik menurut agama mereka.
 
Provinsi yang jumlah non-muslimnya dominan diberi peluang untuk memiliki Perda hukum pidana sendiri apabila mereka menginginkan hukum pidana yang disesuaikan dengan nilai-nilai yang mereka anut.
 
Kaum muslim masih bisa menjabat sebagai legislator di daerah yang tidak menerapkan hukum Quran.  Yang penting dalam proses legislasi kita selalu mengusulkan peraturan yang sejalan dengan Quran dan menolak tegas setiap peraturan yang tidak sejalan dengan Quran.  Kalaupun kita kalah suara dan peraturan yang tidak sejalan dengan Quran yang diberlakukan, sudah tidak ada tuntutan apapun terhadap kita secara agama.  
 
Kembali ke konteks Indonesia saat ini, presiden yang sedang menjabat adalah seorang muslim, begitu pula mayoritas anggota DPR.  Mereka harus segera mengusahakan implementasi hukum-hukum Quran ke dalam undang-undang jika tidak mau dicap kafir, zalim, dan fasik.
 
”Apakah hukum jahiliah yang mereka cari? Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Quran 5:50)

Share on Facebook

Artikel Terkait: