10.11.07

Karakteristik Kerasulan

Dalam periode-periode tertentu manusia akan dihadapkan pada fenomena pengakuan kerasulan.  Mereka yang mengaku sebagai rasulullah mungkin orang yang memang telah ditetapkan Allah menjadi utusan-Nya, tapi mungkin pula orang itu hanya pendusta yang hendak merusak agama.

Quran menerangkan setidaknya ada empat karakteristik fundamental yang bisa dijadikan pegangan oleh kaum muslimin dalam menyikapi fenomena kerasulan sepanjang masa.

Alat ukur kerasulan ini khususnya digunakan ketika berhadapan dengan mereka yang mengaku telah diangkat Allah menjadi rasul-Nya.  Pengakuan dari mereka yang tidak merasa pernah diangkat oleh Allah dianggap telah gugur dengan sendirinya karena seorang “utusan” haruslah sebelumnya diangkat oleh “yang mengutus.”

Karakteristik kerasulan yang pertama adalah bahwa rasul Allah itu seorang laki-laki.

“Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau, melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka ...” (Quran 16:43)

Ayat-ayat lain yang semaksud dengan ayat di atas adalah 12:109, 21:7, 6:9, 7:63, 7:69, dan 10:2.

Dari kata-kata yang digunakan Allah di dalam ayat Quran yang berkaitan dengan kerasulan dapat disimpulkan bahwa rasul itu tidak mungkin seorang perempuan.

Bahkan Maryam (ibu Nabi Isa) yang dinobatkan Allah sebagai perempuan pilihan atas semua perempuan di seluruh alam pun tidak ditetapkan-Nya menjadi rasul.

Karakteristik yang ke dua adalah bahwa seorang rasul tidak mungkin menyampaikan suatu ajaran yang menyimpang dari tuntunan kitab Allah.  Dia hanya menyampaikan firman Allah yang diturunkan ke dalam hatinya.

“Wahai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan Tuanmu kepadamu ...” (Quran 5:67)

Karena firman Allah telah ditamatkan dengan Quran, maka ajaran para rasul yang datang kemudian tidak akan keluar dari Quran.

Orang bisa saja mengutip beberapa ayat Quran ketika mengajarkan kesesatan, namun dalilnya tidak akan mungkin bisa dipertahankan ketika dikembalikan kepada konteks yang benar dari ayat-ayat Quran secara menyeluruh.

Ambil contoh ajaran yang mengatakan bahwa “kiamat” adalah peristiwa tegaknya agama Allah di kehidupan dunia ini.  Memang betul secara harfiah “kiamat” itu mengandung makna tegak/berdiri.  Namun harus diperhatikan bahwa konteks “kiamat” sebagaimana diterangkan pada banyak ayat di dalam Quran merujuk kepada peristiwa dibangkitkannya seluruh manusia yang telah mati, dan tegaknya pengadilan Allah atas mereka semua.  Peristiwa tersebut didahului dengan kehancuran alam semesta.

Menggelincirkan makna hari “kiamat” sesuai dengan kepentingan dan keinginan diri sama artinya dengan mendustakan kebenaran peristiwa “kiamat” itu sendiri.  Padahal iman kepada kehidupan akhir yang di dalamnya mencakup “kiamat” adalah salah satu keimanan dasar bagi orang-orang yang beriman.

Sangat banyak kemungkinan bentuk ajaran-ajaran yang menyimpang dari kitab Allah.  Secara garis besarnya dapat dikategorikan sebagai berikut: menghalalkan apa yang diharamkan Allah, mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, menggugurkan apa yang diperintahkan Allah, melanggar apa yang dilarang Allah, menyuruh pengikut-pengikut untuk menyembah dirinya, mengaku diri sebagai penjelmaan nabi/malaikat, mengaku diri sebagai penjelmaan Allah, mengajarkan masih ada nabi setelah Nabi Muhammad, mengajarkan masih ada kitab Allah setelah Quran, menyangkal kesempurnaan Quran, mengajarkan bahwa pengikutnya telah terbebas dari segala dosa oleh karena itu mereka boleh melakukan maksiat, tidak mempercayai adanya kehidupan setelah mati, mengajarkan bahwa surga bisa ditebus dengan harga tertentu, dan sebagainya.

Apabila seseorang yang mengaku sebagai rasul Allah mengajarkan salah satu dari kategori ajaran-ajaran di atas atau bentuk ajaran lainnya yang menyimpang dari Quran, dapat dipastikan bahwa dia bukan utusan Allah.  Dia adalah utusan setan yang memikul misi kebohongan dengan membawa-bawa nama Allah.

Para rabbani, yaitu mereka yang mendedikasikan diri untuk mengajarkan dan mempelajari kitab Allah, karena pemahaman Qurannya lebih baik dibandingkan dengan kebanyakan orang, mesti menjadi pihak pertama yang maju untuk menguji ajaran yang disampaikan oleh seorang “rasul.”

Karakteristik yang ke tiga adalah bahwa para rasul itu memiliki reputasi sebagai orang yang terpercaya (al-amin).

“Sesungguhnya aku adalah seorang rasul yang terpercaya (yang diutus) untuk kalian.” (Quran 26:107)

Ayat-ayat lain yang semaksud dengan ayat di atas adalah 26:125, 26:143, 26:162, 26:178, dan 44:18.

Dia pastilah bukan orang yang biasa berdusta apalagi menipu.  Orang-orang yang kenal dan bergaul lama dengannya akan mempunyai penilaian bahwa dia adalah orang yang lurus dan dapat dipercaya.

Apabila seseorang tidak biasa berdusta untuk hal-hal yang dianggap “biasa,” maka dia lebih tidak akan berani lagi berdusta untuk hal “luar biasa” seperti mengaku diri sebagai rasul padahal dia tidak pernah diangkat untuk itu.

Sebaliknya, orang yang lidahnya sudah begitu akrab dengan kebohongan dan tipu-menipu bisa jadi tidak segan untuk melemparkan dusta yang paling berat, yaitu berdusta dengan mengatasnamakan Allah.

Karakteristik fundamental yang ke empat adalah bahwa seorang rasul tidak akan meminta imbalan untuk dakwahnya.

“Dan wahai kaumku, aku tidak meminta harta kepada kalian untuk itu.  Imbalanku tidak lain hanyalah dari Allah ...” (Quran 11:29)

Ayat-ayat lain yang semaksud dengan ayat di atas adalah 11:51, 12:104, 25:57, dan 34:47.

Rasul Allah tidak akan mensyaratkan biaya tertentu bagi mereka yang hendak menjadi pengikutnya.  Tidak pula dia menarik uang mereka untuk menghidupi dirinya.

Rasul hanya akan makan dari hasil jerih payah kerjanya sendiri, atau dari jalan lain yang ditetapkan Allah seperti bagian dalam harta rampasan perang.

Kalau pun rasul menarik sedekah sebagaimana yang diceritakan di dalam Quran, dia hanya akan turut menggunakannya jika memang berhak secara syariat.

Share on Facebook

Artikel Terkait: