11.12.07

Keimanan dan Ikatan Kekeluargaan

Pada umumnya manusia mempunyai ikatan batin dan rasa kedekatan kepada keluarganya, baik itu orang tua, anak, istri/suami, saudara, maupun kerabat.

Apabila ada rezeki atau sesuatu kebaikan yang kita punya, maka kepada keluarga biasanya kita lebih dulu membaginya.  Bila ada keburukan yang mengancam, maka keluarga pula yang paling pertama kita selamatkan.

Kecenderungan yang sangat manusiawi ini diakui oleh ajaran Islam.  Allah mengatakan bahwa orang-orang beriman yang memiliki pertalian darah adalah lebih dekat satu sama lain.

“... orang-orang yang mempunyai hubungan darah, satu sama lain lebih dekat di dalam kitab Allah daripada orang-orang beriman dan para penghijrah ...” (Quran 33:6)

Di dalam ketentuan Allah mengenai pemberian belanja (infak), kembali kita menemukan adanya pengutamaan kepada keluarga sebagai pihak penerima belanja.

“... Apa saja kebaikan yang kalian infakkan adalah untuk kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan para gelandangan ...” (Quran 2:215)

Meskipun kecenderungan kepada keluarga adalah suatu hal yang wajar, ia tidak boleh sampai mengalahkan kecenderungan kita kepada keimanan dan kebenaran.

Pada sebagian kasus, keimanan dan ikatan kekeluargaan menjadi dua hal yang berseberangan.  Mungkin orang tua kita sedih dan kecewa dengan keimanan kita yang dianggap melanggar kebiasaan.  Mereka lalu meminta kita supaya kembali kepada keyakinan lama.

Sebagai seorang anak kita memang harus berbakti kepada kedua orang tua.  Sangat banyak jasa dan pengorbanan yang telah mereka curahkan untuk kita.  Namun bila mereka meminta kita untuk berpaling dari kebenaran, maka dalam hal ini mereka tidak perlu dipatuhi.

“Dan Kami pesankan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya.  Tapi jika keduanya memaksamu untuk menyekutukan dengan-Ku sesuatu yang kamu tidak ada pengetahuan tentangnya, maka janganlah patuhi keduanya.  Kepada-Ku tempat kembali kalian, lalu akan Aku beritakan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan.” (Quran 29:8)

Sikap Nabi Ibrahim dapat menjadi teladan.  Meski dikenal sebagai seorang yang lembut hati, beliau tetap menegakkan keyakinannya di atas reaksi keras dari bapaknya.

“Wahai ayahku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan disentuh azab dari Yang Pemurah sehingga kamu menjadi teman bagi setan (di neraka).'  Dia (bapaknya) berkata, ‘Bencikah kamu kepada sembahan-sembahanku, wahai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, sungguh aku akan merajam kamu; maka tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama.” (Quran 19:45-46)

Kalaulah keridaan Allah bergantung pada keridaan orang tua, maka tentu Nabi Ibrahim termasuk orang yang dimurkai Allah karena telah membangkang kepada bapaknya.  Namun sesungguhnya keridaan Allah tidak bergantung pada keridaan siapa pun.  Keridaan-Nya memihak pada kebenaran.

Tidak saja memisahkan antara anak dan bapak seperti pada kisah Nabi Ibrahim, keimanan juga dapat mengantarkan suami-istri ke jalan yang bersimpangan.

Quran mengisahkan bagaimana istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth mengkhianati suami mereka.  Dalam hal ini status kenabian sang suami tidak bisa menyelamatkan para istri tersebut dari azab yang pedih sebagai akibat jalan yang mereka pilih.

“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth suatu perumpamaan bagi orang-orang ingkar.  Keduanya adalah di bawah dua orang hamba di antara hamba-hamba Kami yang saleh, lalu keduanya mengkhianati mereka berdua (Nuh dan Luth), maka mereka berdua (Nuh dan Luth) tidak bermanfaat bagi keduanya sedikit pun dari (azab) Allah; maka dikatakan, ‘Masuklah kalian berdua ke neraka bersama orang-orang yang masuk.’” (Quran 66:10)

Contoh yang sebaliknya didapati pada istri Firaun.  Meskipun suaminya adalah orang yang terdepan dalam kekafiran, dia tidak lantas ikut menjadi kafir juga.  Istri Firaun memilih jalan berbeda dengan menetapi keimanan untuk dirinya.

“Dan Allah membuat istri Firaun suatu perumpamaan bagi orang-orang beriman, ketika dia berkata, ‘Tuanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga, dan selamatkanlah aku dari Firaun dan pekerjaannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.’” (Quran 66:11)

Di dalam riwayat Nabi Muhammad pun terdapat penentangan dari keluarga dekat.  Salah seorang yang paling keras memusuhi Nabi Muhammad adalah Abu Lahab, yakni paman kandung beliau sendiri.  Kebencian terhadap kebenaran telah menggiring Abu Lahab untuk memerangi keponakannya itu.

Karena keimanan dan ikatan kekeluargaan tidak selalu seiring sejalan, kita mesti siap bila harus mendapati keharmonisan dengan keluarga menjadi retak karena perbedaan keyakinan.

Lebih jauh lagi, orang-orang beriman ditandai dengan ketegasan sikap mereka terhadap penentang kebenaran, meskipun penentang itu adalah keluarga mereka sendiri.  Mereka inilah yang disebut sebagai “golongan Allah” (hizbullah).

“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkasih sayang dengan siapa yang menentang Allah dan rasul-Nya, walaupun mereka itu bapak mereka, atau anak mereka, atau saudara mereka, atau kaum kerabat mereka.  Dia telah menetapkan keimanan di dalam hati mereka, dan menguatkan mereka dengan roh dari-Nya, dan Dia memasukkan mereka ke surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.  Allah rida kepada mereka, dan mereka pun rida kepada-Nya.  Mereka itulah golongan Allah; ingatlah sesungguhnya golongan Allah itulah orang-orang yang beruntung.” (Quran 58:22)

Share on Facebook

Artikel Terkait: