23.4.08

Menyikapi Kenyataan Hidup

Berbagai peristiwa yang kita alami di dalam kehidupan tidak jarang menarik kita masuk ke dalam siklus kecewa dan gembira silih berganti.

Ketika gagal meraih apa yang diinginkan, rasa kecewa datang menghampiri.  Kekecewaan terutama bersumber dari pemikiran bahwa kegagalan itu harusnya tidak perlu terjadi bila saja kita atau orang lain bertindak secara berbeda.  Dari sini muncul ungkapan penyesalan: “kalau saja saya berhati-hati,” “kalau saja dia tidak khianat,” “kalau saja peraturannya adil,” dan seterusnya.

Sebaliknya, kita merasa gembira ketika mendapatkan apa yang diinginkan.  Kadang timbul kebanggaan bahwa apa yang didapatkan adalah buah dari kepandaian dan dedikasi kita.  Pernyataan kita kemudian jadi serupa dengan si Qarun, orang terkaya pada zaman Nabi Musa, yang berkata, “apa yang aku dapatkan adalah hasil dari pengetahuanku.”

Kehidupan yang terus menerus berfluktuasi dalam siklus rasa kecewa dan gembira yang susul menyusul bukanlah sebuah kondisi yang baik.  Kecewa dan gembira adalah sama-sama wujud keterkejutan mental, meskipun mengambil bentuk yang berbeda.  Menghilangkan atau meminimalkan keterkejutan ini adalah salah satu syarat untuk mencapai kedamaian jiwa.

Berdiam di dua titik ekstrem pendulum emosi manusia, kecewa dan gembira adalah pasangan abadi yang tak terpisahkan.  Ketika kita terayun ke salah satu sisi, maka pada saat yang sama kita telah menyediakan diri untuk dihempaskan ke sisi yang lain.

Semakin lebar lintasan titik ekstrem emosi kegembiraan dan kesedihan kita, akan semakin sakit pula kita dibuatnya.  Orang yang paling keras tawanya adalah juga orang yang paling keras tangisnya.

Untuk menuju sikap emosi ideal yang cenderung stabil, luapan kegembiraan dan kekecewaan harus diredam sebisa mungkin.  Kita harus belajar untuk mengambil reaksi biasa-biasa saja terhadap apapun yang terjadi.

Emosi yang fluktuatif adalah buah dari pandangan yang masih tertumbuk pada sebab-sebab lahiriah.  Mata fisik kita boleh mengarah pada perbuatan manusia, namun pandangan batin kita harus menembus melampaui itu.  Kita mesti pula “melihat” adanya kehendak Yang Maha Mengetahui dan Maha Kuasa di balik itu semua.

Tidak ada kejadian sekecil apapun yang luput dari ketentuan Allah.  Segala yang dikehendaki-Nya untuk terjadi telah dituliskan bahkan jauh sebelum kita ada.  Bencana yang mematikan, lahirnya seorang bayi, ataupun pecahnya sebuah perkawinan telah ada kepastian terjadinya.  Tidak ada hal baru, semua telah tercatat pada naskah yang sangat purba.

Karena peristiwa demi peristiwa adalah rangkaian kepastian, tidak ada alasan bagi kita untuk terpuruk kecewa atau melambung gembira dalam menyikapinya.  Toh, kejadiannya memang harus demikian.  Tidak ada kemungkinan lain.

“Tiada penderitaan yang menimpa di bumi dan tidak (pula) pada diri-diri kalian selain ada di dalam kitab sebelum Kami menciptakannya.  Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.  Supaya kalian tidak bersedih karena apa yang luput dari kalian, dan tidak (pula) bergembira dengan apa yang diberi kepada kalian.  Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong, membanggakan diri.” (Quran 57:22-23)

Jalan kehidupan yang disabdakan oleh Allah Yang Pengasih dan Penyayang telah sempurna dalam kebenaran maupun keadilannya.  Tidak mudah untuk menerima bahwa kenyataan-kenyataan hidup, terutama yang tidak menyenangkan, sebagai adil dan sempurna bila kita tidak menyadari ketidaktahuan kita.

Umumnya manusia hanya bisa melihat sisi terluar dari sebuah peristiwa, dan langsung membuat penilaian dari apa yang dilihatnya itu.  Padahal peristiwa demi peristiwa di dalam kehidupan ini saling terjalin dengan rumitnya, dan tiap peristiwa memiliki dimensi-dimensi kebenarannya sendiri yang sering baru terlihat setelah peristiwa itu lama berlalu.

Mari sejenak kita renungkan kisah salah seorang rasul Allah, Yusuf.  Kisah yang dimuat secara utuh di dalam Quran bab ke-12 ini disebut Allah sebagai kisah terbaik.

Yusuf adalah salah seorang putra Nabi Ya’kub.  Karena keutamaan yang diketahui Ya’kub atas putranya ini, Ya’kub menyayangi Yusuf melebihi anak-anaknya yang lain.  Saudara-saudara Yusuf merasa dengki, mereka lalu merencanakan makar untuk membuang Yusuf yang tak bersalah ke dalam sebuah sumur jauh dari tempat tinggalnya.  Sampai di sini apa yang terjadi pada diri Yusuf sepertinya buruk dan tidak adil.

Tidak berhenti sampai di sana, setelah dijual dan menjadi pelayan di rumah seorang pembesar Mesir, Yusuf difitnah oleh istri pembesar sehingga dia harus meringkuk beberapa tahun di penjara meskipun sebenarnya istri pembesarlah yang bersalah.  Kembali kejadian yang tampaknya buruk dan tidak adil menimpa Yusuf.

Namun setelah kita membaca secara keseluruhan kisah kehidupan Yusuf, kita baru memahami bahwa kejadian-kejadian yang terlihat buruk dan tidak adil itu adalah rangkaian tak terpisahkan yang akan mengantarkan Yusuf ke atas tampuk kekuasaan negeri Mesir di kemudian hari.

Hikmah dari kisah rasulullah Yusuf dapat dengan jelas kita ulas karena kita telah mengetahui keseluruhan jalan ceritanya.  Jalan kehidupan kita sendiri masih kita jalani, dan karenanya masih banyak misteri yang belum kita ketahui.

Menyadari banyaknya rahasia kehidupan yang tidak kita ketahui, sepatutnya kita menghindari penilaian baik-buruk yang terlalu mutlak atas suatu kejadian.  Sebaliknya, kita dapat mengingatkan diri kita agar tetap tenang dalam menyikapi berbagai peristiwa, dan percaya pada rencana Allah.

“... boleh jadi kalian membenci sesuatu padahal ia baik bagi kalian, dan boleh jadi kalian menyukai sesuatu padahal ia buruk bagi kalian.  Dan Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui.” (Quran 2:216)

Share on Facebook

Artikel Terkait: