Pedoman orang beriman terkait dengan hubungan yang khusus antara laki-laki dan perempuan adalah bahwa mereka tidak boleh mendekati zina.
“Dan janganlah kalian mendekati zina; sesungguhnya ia adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.” (Quran 17:32).
Ketentuan itu pula yang menjadi pegangan kita dalam menilai pacaran.
Kamus mendefinisikan pacaran sebagai: bercintaan; berkasih-kasihan. Meski mungkin diawali dengan hal-hal yang masih dapat diterima seperti saling berbagi cerita (curhat), namun pada akhirnya hampir dipastikan interaksi antara dua lawan jenis tersebut akan bermuara pada hal-hal yang bertendensi seksual, karena memang secara kodrati ke sanalah arah hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan.
Dan interaksi yang demikian itu merupakan perbuatan mendekati zina yang diharamkan Allah. Maka orang yang beriman tidak sepatutnya berpacaran.
Perkenalan Pra-Nikah
Bagi sebagian orang, berpacaran dianggap sebagai hal yang mau tidak mau harus dijalani demi pengenalan lebih dalam terhadap calon pasangan hidup sebelum melangkah ke pernikahan.
Pengenalan terhadap calon istri/suami tentu perlu kita lakukan, namun dengan kedekatan yang masih dalam batas-batas kepatutan, tidak lebih seperti teman biasa.
Bahwa akan ada perilakunya yang tidak kita ketahui karena keterbatasan interaksi, sebenarnya mau berinteraksi seperti apapun akan tetap ada hal-hal yang tidak kita ketahui tentangnya sebelum nanti resmi menjadi suami-istri.
Tidak sedikit orang yang sudah lama berpacaran kaget dengan perubahan yang dia dapati pada diri pasangannya setelah menikah. Jadi perkenalan pra-nikah yang terbatas sebenarnya justru lebih sehat, karena sedari dini pasangan tersebut membangun hubungan di antara mereka dengan wajah yang asli dalam sebuah ikatan pernikahan.
Perkenalan pra-nikah yang terbatas juga lebih memungkinkan kita untuk membuat keputusan yang rasional tanpa turut dipengaruhi oleh faktor desakan syahwat.
Tanya Allah
Jika kita ingin memastikan apakah calon istri/suami kita itu adalah pilihan yang tepat atau tidak, tanyakanlah kepada Allah. Allah sangat mengetahui siapa calon kita itu, seberapa cocok dia dengan kita, akan bagaimana kehidupan rumah tangga kita nantinya. Allah mengetahui segalanya.
Apabila kita sungguh-sungguh berdoa dengan penuh rasa percaya kepada-Nya, insya Allah Dia akan memberi petunjuk ke hati kita sehingga kita dapat membuat keputusan yang benar.
“… barang siapa beriman kepada Allah, Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Quran 64:11)
Pacaran Setelah Menikah
Setelah resmi menikah—terutama untuk yang masih muda—kita bisa mengadopsi konsep “pacaran” dengan menunda program kehamilan untuk jangka waktu tertentu, misalnya satu atau dua tahun.
Pada satu-dua tahun pertama tersebutlah waktu bagi kita untuk mengenal lebih jauh “luar-dalam” pasangan kita. Memang, rukun di satu-dua tahun pertama bukan jaminan akan rukun untuk seterusnya, namun setidak-tidaknya hal tersebut merupakan pertanda positif bagi kelangsungan hubungan.
Ketika kita merasa hubungan telah cukup solid barulah memprogram kehamilan. Sedangkan jika kita memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan, maka kita bisa “putus” secara baik-baik tanpa suatu beban.
Sebelumnya calon suami-istri serta orang tua keduanya harus lebih dahulu memahami bahwa perceraian adalah sebuah kemungkinan yang wajar saja terjadi di dalam pernikahan. Ikatan pernikahan tidak harus bertahan seumur hidup. Quran surah 2:236 bahkan menunjukkan kemungkinan terjadinya perceraian pada pasangan suami-istri yang belum saling menyentuh.
Selain itu para pihak juga perlu memahami bahwa pada dasarnya pernikahan tidak mengurangi kedaulatan suami-istri atas harta mereka masing-masing. Maka tidak ada salahnya untuk membuat perjanjian pra-nikah yang isinya mencakup ketentuan tentang pemisahan harta. Sehingga apabila suami-istri tersebut memutuskan untuk bercerai, ikatan bisa diakhiri tanpa suatu urusan yang mengganjal.