15.12.05

Inti Keber-agama-an

Apakah semua orang non-Islam di akhirat nanti pasti akan celaka betapa pun “saleh”nya mereka ketika di dunia?  Tidak adakah sama sekali peluang bagi orang non-Islam untuk masuk surga?
 
Pertanyaan di atas membawa saya pada pemikiran untuk menelusuri apakah sebenarnya inti keber-agama-an itu.  Apakah memang tidak ada suatu esensi religiositas yang sifatnya lintas agama.
 
Setelah ditelusuri, ternyata Allah memberi posisi sentral pada apa yang disebut dengan “beriman dan mengerjakan kebaikan.”  Orang Yahudi, orang Nasrani, dan orang Sabiin sekalipun akan menerima imbalan kebahagiaan di sisi Allah apabila mereka beriman dan berbuat kebajikan.
 
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang Yahudi, dan orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabiin, siapa saja yang percaya kepada Allah dan hari akhir, dan mengerjakan kebaikan, maka bagi mereka imbalan di sisi Tuan mereka, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.” (Quran 2:62)
 
Sebagaimana terbaca pada ayat di atas, keimanan yang dituntut dalam hal ini adalah keimanan yang sifatnya mendasar, yaitu beriman kepada Allah dan hari akhir.
 
Beriman kepada Allah membawa konsekuensi untuk beriman pula kepada rasul-rasul yang diutus-Nya, dan kitab-kitab yang diturunkan-Nya termasuk Quran, meski mungkin dalam laku syariatnya seseorang itu memilih untuk tetap mempedomani kitab yang terdahulu.
 
“Dan sesungguhnya di antara orang kitab ada yang beriman kepada Allah, dan kepada apa yang diturunkan kepada kalian, dan yang diturunkan kepada mereka … Bagi mereka itu imbalan di sisi Tuan mereka. Sesungguhnya Allah cepat perhitungan-Nya.” (Quran 3:199)
 
Beriman kepada hari akhir berarti percaya bahwa pada saatnya nanti semua manusia akan dibangkitkan dari kematian untuk mendapatkan pembalasan atas perbuatannya.  Sebagian manusia akan masuk surga, sedangkan sebagian lagi masuk neraka.  
 
Mengenai pekerjaan baik, wujudnya sudah tidak asing bagi kita.  Sebutlah misalnya membagi sebagian rezeki kita kepada orang miskin, memberi uang kepada peminta-minta, memberi makan orang kelaparan, membantu korban bencana, menyantuni gelandangan, menafkahi anak yatim, membantu kerabat yang berkekurangan, melepaskan orang dari belitan utang, membangunkan fasilitas umum, dan sebagainya.
 
Pekerjaan baik yang tidak dilandasi dengan iman akan sia-sia belaka.  Contohnya adalah pekerjaan dari orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Allah, dan tidak percaya akan adanya kehidupan akhirat.
 
Kepada mereka dibacakan ayat-ayat Allah, namun mereka mengingkarinya dengan berbagai dalih.  Mereka diingatkan tentang adanya kebangkitan di hari akhir, namun itu mereka tertawakan dan anggap dongeng.  Di benak mereka, kehidupan hanyalah yang sekarang ini saja.
 
“Mereka itulah orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Tuan mereka dan pertemuan dengan-Nya.  Maka sia-sia amal mereka, dan kami tidak akan memberikan suatu penimbangan bagi mereka pada hari kiamat.” (Quran 18:105)
 
Yang juga akan sia-sia amal baiknya adalah orang yang menyekutukan Allah dengan sesuatu (syirik).  Dalam hal ini keimanannya kepada Allah dinilai telah rusak.
 
Pada umat Yahudi dan Nasrani, bentuk kemusyrikan yang mendominasi adalah menyekutukan Allah dengan nabi dan orang alim mereka.  
 
Orang-orang Yahudi (setidaknya pada zaman Nabi Muhammad) menganggap bahwa Uzair (Ezra) adalah anak Allah (lihat Quran 9:30).  Selain itu, mereka menjadikan kitab ajaran para ulama mereka, yaitu Talmud, sebagai rujukan agama.  Padahal menganggap ada yang berwenang menetapkan syariat agama selain Allah adalah salah satu bentuk kesyirikan (lihat Quran 42:21).
 
Ada pun orang-orang Nasrani, sebagaimana yang telah kita ketahui, menganggap bahwa Nabi Isa (Yesus) adalah anak Allah, bahkan Allah itu sendiri.
 
Pekerjaan baik dari orang-orang yang melakukan kemusyrikan tersebut sia-sia di hadapan Allah.  Mungkin saja mereka telah banyak berbuat baik di dalam kehidupan dunia ini.  Namun karena tidak dilandasi oleh iman yang benar, semua perbuatan mereka itu tidak akan mendapat imbalan di sisi Allah.
 
“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada yang sebelummu, ‘Sungguh jika engkau menyekutukan, niscaya akan sia-sia amalmu dan tentulah engkau termasuk orang-orang yang rugi.’” (Quran 39:65)
 
Kalau orang-orang Yahudi dan Nasrani telah menyekutukan Allah, lalu bagaimana mungkin kepada mereka dijanjikan imbalan kebahagiaan di sisi Allah seperti yang sebelumnya dikatakan?
 
Sebagian besar orang Yahudi dan orang Nasrani memang telah menyekutukan Allah.  Namun, tidak semua mereka seperti itu.  Tetap ada sebagian kecil dari mereka yang memurnikan imannya kepada Allah.
 
Di kalangan umat Yahudi mereka dikenal sebagai Yahudi Karait.  Mereka adalah orang-orang Yahudi yang menolak kitab ”hadis” ala Yahudi, yaitu Talmud, dan hanya menjadikan Taurat sebagai pedoman agama.
 
Di kalangan umat Nasrani  mereka dikenal sebagai Kristen Unitarian.  Istilah “unitarian” adalah antitesis dari dogma “trinitarian” yang dianut oleh mayoritas orang Kristen.  Jumlah mereka ini sedikit, dan oleh sesama orang Nasrani mereka dianggap sesat karena menolak penuhanan Isa (Yesus).
 
Kepada orang kitab yang lurus demikianlah Allah menjanjikan imbalan kebahagiaan.
 
“Tidaklah mereka itu sama.  Di antara orang kitab ada golongan yang lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada malam hari, dan mereka bersujud.  Mereka percaya kepada Allah dan hari akhir, menyuruh kepada yang baik dan melarang dari yang keji, dan mereka bersegera dalam kebajikan.  Mereka termasuk orang-orang yang saleh.” (Quran 3:113-114)
 
Kesimpulannya, inti keber-agama-an adalah: beriman kepada Allah (termasuk kepada rasul-Nya dan kitab-Nya) tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu, beriman kepada hari akhir, dan melakukan kebajikan.  Apapun label agamanya, selama seseorang itu beriman kepada Allah dan hari akhir serta berbuat amal kebaikan, maka kelak dia akan memperoleh imbalannya di sisi Allah.

(Terakhir diperbarui: 30 Maret 2022)

Baca juga: Syirik (mayoritas umat melakukannya)

Share on Facebook

Artikel Terkait: