Apa dasarnya suatu keyakinan dikatakan benar, atau salah?
Di dalam kehidupan sehari-hari, sering kali suatu keyakinan dianggap benar karena keyakinan tersebut telah diterima sejak dahulu. Karena apa yang kita yakini sama dengan apa yang diyakini oleh orang tua kita maupun oleh generasi-generasi sebelumnya, lantas kita menganggap keyakinan tersebut benar. Istilahnya, “Dari dulu juga begitu ….”
Menganggap suatu keyakinan sebagai kebenaran hanya karena keyakinan itu telah diterima sejak dahulu, adalah cara pandang yang salah. Tidak selamanya apa yang telah mengakar dan dijalankan dari generasi ke generasi itu benar. Kebenaran mestilah didasarkan pada suatu ukuran yang dapat dipertanggungjawabkan.
Quran bercerita tentang orang-orang yang menganut cara pandang yang salah ini. Mereka menolak untuk mengikuti apa yang diturunkan Allah, dan memilih untuk mengikuti apa yang sudah diyakini oleh generasi-generasi terdahulu.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ’Ikutilah apa yang Allah turunkan’. Mereka berkata, ’Bahkan kami mengikuti apa yang telah kami dapati pada bapak-bapak kami.’ Padahal bapak-bapak mereka tidak mengerti apa pun dan tidak mendapat petunjuk.” (Quran 2:170)
Sandaran lain yang juga sering digunakan orang dalam memutuskan benar atau salah adalah pendapat umum. Orang-orang ini meyakini sesuatu semata-mata karena kebanyakan orang juga meyakini hal yang sama.
Mereka menyandarkan keyakinannya pada sebuah asumsi bahwa tidaklah mungkin sekian ratus juta orang telah meyakini sesuatu yang salah. Jika disampaikan ayat-ayat Allah yang mengoreksi keyakinan mereka, nada komentar mereka kurang lebih, “Jadi kamu yang betul, dan ratusan juta orang lain di dunia ini salah?!”
Memang, jumlah pendukung yang besar mudah dijadikan simbol keabsahan. Namun pembenaran yang demikian itu sebenarnya tidak berdasar. Benar atau salahnya suatu pendapat haruslah didasarkan pada penilaian objektif, terlepas dari banyak atau sedikitnya orang yang mendukung pendapat tersebut.
“… Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu mengagumkan kamu, maka bertakwalah kepada Allah wahai orang-orang yang berakal, mudah-mudahan kalian beruntung.” (Quran 5:100)
Allah di dalam kitab-Nya mengingatkan kita bahwa sesungguhnya kebanyakan orang di dunia ini hanya mengikuti persangkaan saja. Mereka menganut suatu keyakinan bukan karena keyakinan tersebut telah teruji kebenarannya. Konsekuensinya, jika kita hanya “mengikuti arus” maka kita pun akan tersesat dari jalan yang benar.
“Dan jika kamu mematuhi kebanyakan orang di bumi, mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, dan mereka hanyalah berdusta.” (Quran 6:116)
Fatwa dari orang-orang yang memiliki pengaruh, seperti pemuka agama, adalah alternatif lain yang dijadikan ukuran kebenaran bagi banyak orang.
Mereka yang berpegang pada cara pandang ini enggan menerima penjelasan dari orang yang mereka anggap “bukan siapa-siapa.” Sebagai tanggapan, mereka mengatakan bahwa kalau penjelasan tersebut diakui oleh “ulama terpandang,” atau “kiai ini,” atau “profesor itu” barulah mereka akan percaya.
Padahal di akhirat kelak banyak manusia yang menyesal karena sewaktu di dunia telah mentaati orang-orang yang dianggap berpengaruh. Namun penyesalan itu sudah tidak ada gunanya lagi.
“Dan mereka berkata: ‘Tuan kami, sesungguhnya kami telah mematuhi pemimpin-pemimpin kami dan pembesar-pembesar kami. Lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar)’.” (Quran 33:67)
Dalam kaitannya dengan kecenderungan manusia kepada materi, ada pula orang yang ketika dihadapkan kepada pilihan keyakinan, dia meniliknya berdasarkan ukuran materi. Seakan-akan kebenaran itu pastilah berada di pihak yang dikaruniai keunggulan materi.
Cara pandang yang dangkal ini juga telah terjadi sejak dahulu. Padahal, limpahan materi bukanlah pertanda hadirnya keridaan Allah. Bahkan generasi-generasi terdahulu yang lebih megah telah dimusnahkan Allah karena keingkarannya.
“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang jelas, orang-orang yang ingkar berkata kepada orang-orang yang beriman, ’Yang manakah antara dua golongan itu yang lebih baik tempatnya, dan lebih bagus perkumpulannya?’ Dan berapa banyak generasi yang telah Kami musnahkan sebelum mereka yang lebih bagus peralatan dan penampakannya!” (Quran 19:73-74)
Akhirnya kita melihat betapa cacatnya kriteria-kriteria yang dijadikan manusia sebagai tolok ukur kebenaran. Apa yang selama ini dianggap sebagai kriteria, ternyata tidak lebih dari gelembung persangkaan yang muncul dari keengganan untuk berpikir kritis.
Dalam memutuskan benar atau salahnya suatu keyakinan, kita harus mengujinya dengan Quran yang telah ditetapkan Allah sebagai pemisah (furqan). Kitab Allah itu akan mengatakan kepada kita mana sesungguhnya yang benar dan mana yang salah.
“Bulan Ramadan yang padanya Quran diturunkan (sebagai) petunjuk bagi manusia, dan penjelasan-penjelasan dari petunjuk itu, dan pemisah (furqan) ....” (Quran 2:185)
Dan kebenaran itu bisa jadi berbeda dengan apa yang sudah diterima sejak dulu, dengan keyakinan kebanyakan orang, maupun dengan pendapat pemuka agama.
(Terakhir diperbarui: 26 Agustus 2008)
Di dalam kehidupan sehari-hari, sering kali suatu keyakinan dianggap benar karena keyakinan tersebut telah diterima sejak dahulu. Karena apa yang kita yakini sama dengan apa yang diyakini oleh orang tua kita maupun oleh generasi-generasi sebelumnya, lantas kita menganggap keyakinan tersebut benar. Istilahnya, “Dari dulu juga begitu ….”
Menganggap suatu keyakinan sebagai kebenaran hanya karena keyakinan itu telah diterima sejak dahulu, adalah cara pandang yang salah. Tidak selamanya apa yang telah mengakar dan dijalankan dari generasi ke generasi itu benar. Kebenaran mestilah didasarkan pada suatu ukuran yang dapat dipertanggungjawabkan.
Quran bercerita tentang orang-orang yang menganut cara pandang yang salah ini. Mereka menolak untuk mengikuti apa yang diturunkan Allah, dan memilih untuk mengikuti apa yang sudah diyakini oleh generasi-generasi terdahulu.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ’Ikutilah apa yang Allah turunkan’. Mereka berkata, ’Bahkan kami mengikuti apa yang telah kami dapati pada bapak-bapak kami.’ Padahal bapak-bapak mereka tidak mengerti apa pun dan tidak mendapat petunjuk.” (Quran 2:170)
Sandaran lain yang juga sering digunakan orang dalam memutuskan benar atau salah adalah pendapat umum. Orang-orang ini meyakini sesuatu semata-mata karena kebanyakan orang juga meyakini hal yang sama.
Mereka menyandarkan keyakinannya pada sebuah asumsi bahwa tidaklah mungkin sekian ratus juta orang telah meyakini sesuatu yang salah. Jika disampaikan ayat-ayat Allah yang mengoreksi keyakinan mereka, nada komentar mereka kurang lebih, “Jadi kamu yang betul, dan ratusan juta orang lain di dunia ini salah?!”
Memang, jumlah pendukung yang besar mudah dijadikan simbol keabsahan. Namun pembenaran yang demikian itu sebenarnya tidak berdasar. Benar atau salahnya suatu pendapat haruslah didasarkan pada penilaian objektif, terlepas dari banyak atau sedikitnya orang yang mendukung pendapat tersebut.
“… Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu mengagumkan kamu, maka bertakwalah kepada Allah wahai orang-orang yang berakal, mudah-mudahan kalian beruntung.” (Quran 5:100)
Allah di dalam kitab-Nya mengingatkan kita bahwa sesungguhnya kebanyakan orang di dunia ini hanya mengikuti persangkaan saja. Mereka menganut suatu keyakinan bukan karena keyakinan tersebut telah teruji kebenarannya. Konsekuensinya, jika kita hanya “mengikuti arus” maka kita pun akan tersesat dari jalan yang benar.
“Dan jika kamu mematuhi kebanyakan orang di bumi, mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, dan mereka hanyalah berdusta.” (Quran 6:116)
Fatwa dari orang-orang yang memiliki pengaruh, seperti pemuka agama, adalah alternatif lain yang dijadikan ukuran kebenaran bagi banyak orang.
Mereka yang berpegang pada cara pandang ini enggan menerima penjelasan dari orang yang mereka anggap “bukan siapa-siapa.” Sebagai tanggapan, mereka mengatakan bahwa kalau penjelasan tersebut diakui oleh “ulama terpandang,” atau “kiai ini,” atau “profesor itu” barulah mereka akan percaya.
Padahal di akhirat kelak banyak manusia yang menyesal karena sewaktu di dunia telah mentaati orang-orang yang dianggap berpengaruh. Namun penyesalan itu sudah tidak ada gunanya lagi.
“Dan mereka berkata: ‘Tuan kami, sesungguhnya kami telah mematuhi pemimpin-pemimpin kami dan pembesar-pembesar kami. Lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar)’.” (Quran 33:67)
Dalam kaitannya dengan kecenderungan manusia kepada materi, ada pula orang yang ketika dihadapkan kepada pilihan keyakinan, dia meniliknya berdasarkan ukuran materi. Seakan-akan kebenaran itu pastilah berada di pihak yang dikaruniai keunggulan materi.
Cara pandang yang dangkal ini juga telah terjadi sejak dahulu. Padahal, limpahan materi bukanlah pertanda hadirnya keridaan Allah. Bahkan generasi-generasi terdahulu yang lebih megah telah dimusnahkan Allah karena keingkarannya.
“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang jelas, orang-orang yang ingkar berkata kepada orang-orang yang beriman, ’Yang manakah antara dua golongan itu yang lebih baik tempatnya, dan lebih bagus perkumpulannya?’ Dan berapa banyak generasi yang telah Kami musnahkan sebelum mereka yang lebih bagus peralatan dan penampakannya!” (Quran 19:73-74)
Akhirnya kita melihat betapa cacatnya kriteria-kriteria yang dijadikan manusia sebagai tolok ukur kebenaran. Apa yang selama ini dianggap sebagai kriteria, ternyata tidak lebih dari gelembung persangkaan yang muncul dari keengganan untuk berpikir kritis.
Dalam memutuskan benar atau salahnya suatu keyakinan, kita harus mengujinya dengan Quran yang telah ditetapkan Allah sebagai pemisah (furqan). Kitab Allah itu akan mengatakan kepada kita mana sesungguhnya yang benar dan mana yang salah.
“Bulan Ramadan yang padanya Quran diturunkan (sebagai) petunjuk bagi manusia, dan penjelasan-penjelasan dari petunjuk itu, dan pemisah (furqan) ....” (Quran 2:185)
Dan kebenaran itu bisa jadi berbeda dengan apa yang sudah diterima sejak dulu, dengan keyakinan kebanyakan orang, maupun dengan pendapat pemuka agama.
(Terakhir diperbarui: 26 Agustus 2008)