“Sidratil Muntaha” adalah sebuah elemen yang melengkapi tradisi cerita mikraj Nabi Muhammad menembus langit. Adanya penyebutan “sidratil muntaha” di dalam Quran oleh sebagian orang dijadikan landasan untuk menguatkan kebenaran cerita mikraj tersebut.
Dalam mengkaji keterkaitan antara “sidratil muntaha” dengan cerita mikraj, pertama-tama kita simak ayat yang menyebut “sidratil muntaha” ini lewat terjemahan Quran bahasa Indonesia versi Departemen Agama RI edisi tahun 2007.
“Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha, di dekatnya ada surga tempat tinggal” (Quran 53:13-15)
Untuk ayat ke-14 ada catatan kaki yang berbunyi: “Sidratil muntaha yaitu tempat yang paling atas pada langit yang ke-7, yang telah dikunjungi Nabi saw ketika Mi’raj.”
Selanjutnya kita simak kembali ayat yang sama namun melalui terjemahan versi lain.
“Dan sungguh dia telah melihatnya pada penurunan yang lain, di dekat pohon bidara yang paling ujung, di dekatnya ada kebun tempat berdiam” (Quran 53:13-15)
Dua terjemahan di atas meninggalkan kesan yang berbeda kepada pembacanya meskipun ia menerjemahkan ayat yang sama. Penyebabnya ada pada diterjemahkannya kata “sidr” dan “muntaha,” serta ketepatan konteks terjemahan kata “jannah.”
“Sidr” artinya pohon bidara, atau lote-tree dalam bahasa Inggrisnya. Tim penerjemah Quran bahasa Indonesia Departemen Agama pasti mengetahui bahwa “sidr” berarti pohon bidara; hal itu terbukti ketika mereka menerjemahkan surah 56:28 yang juga mengandung kata “sidr.”
“(Mereka) berada di antara pohon bidara (sidrin) yang tidak berduri.” (Quran 56:28)
“Muntaha” artinya adalah penghabisan/batas akhir/ujung (ref: kamus Al-Munawwir hal. 1472).
Dalam mengkaji keterkaitan antara “sidratil muntaha” dengan cerita mikraj, pertama-tama kita simak ayat yang menyebut “sidratil muntaha” ini lewat terjemahan Quran bahasa Indonesia versi Departemen Agama RI edisi tahun 2007.
“Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha, di dekatnya ada surga tempat tinggal” (Quran 53:13-15)
Untuk ayat ke-14 ada catatan kaki yang berbunyi: “Sidratil muntaha yaitu tempat yang paling atas pada langit yang ke-7, yang telah dikunjungi Nabi saw ketika Mi’raj.”
Selanjutnya kita simak kembali ayat yang sama namun melalui terjemahan versi lain.
“Dan sungguh dia telah melihatnya pada penurunan yang lain, di dekat pohon bidara yang paling ujung, di dekatnya ada kebun tempat berdiam” (Quran 53:13-15)
Dua terjemahan di atas meninggalkan kesan yang berbeda kepada pembacanya meskipun ia menerjemahkan ayat yang sama. Penyebabnya ada pada diterjemahkannya kata “sidr” dan “muntaha,” serta ketepatan konteks terjemahan kata “jannah.”
“Sidr” artinya pohon bidara, atau lote-tree dalam bahasa Inggrisnya. Tim penerjemah Quran bahasa Indonesia Departemen Agama pasti mengetahui bahwa “sidr” berarti pohon bidara; hal itu terbukti ketika mereka menerjemahkan surah 56:28 yang juga mengandung kata “sidr.”
“(Mereka) berada di antara pohon bidara (sidrin) yang tidak berduri.” (Quran 56:28)
“Muntaha” artinya adalah penghabisan/batas akhir/ujung (ref: kamus Al-Munawwir hal. 1472).
"dan sesungguhnya kepada Tuanmulah kesudahan (muntaha) (segala sesuatu)," (Quran 53:42)
“Jannah” di samping berarti surga ia juga bermakna kebun, sebagaimana contohnya pada ayat berikut:
“Dan dia memasuki kebunnya (jannatahu), sedang dia menzalimi dirinya sendiri; dia berkata, ’Aku yakin bahwa (kebun) ini tidak akan binasa selama-lamanya’” (Quran 18:35)
Apakah ia akan diterjemahkan sebagai ”surga” atau ”kebun” tentunya tergantung pada konteks ayat.
Kembali ke ayat “sidratil muntaha.” Dengan mencermati ayat-ayat sebelum maupun sesudahnya, menjadi jelas bahwa rangkaian ayat tersebut sedang menceritakan cuplikan penurunan wahyu oleh Jibril kepada Nabi Muhammad.
Pada suatu kesempatan, Nabi melihat Jibril di ufuk yang paling tinggi, lalu Jibril turun mendekat sampai jarak dua busur panah, dan mewahyukan pesan Allah kepada Nabi Muhammad.
“Jannah” di samping berarti surga ia juga bermakna kebun, sebagaimana contohnya pada ayat berikut:
“Dan dia memasuki kebunnya (jannatahu), sedang dia menzalimi dirinya sendiri; dia berkata, ’Aku yakin bahwa (kebun) ini tidak akan binasa selama-lamanya’” (Quran 18:35)
Apakah ia akan diterjemahkan sebagai ”surga” atau ”kebun” tentunya tergantung pada konteks ayat.
Kembali ke ayat “sidratil muntaha.” Dengan mencermati ayat-ayat sebelum maupun sesudahnya, menjadi jelas bahwa rangkaian ayat tersebut sedang menceritakan cuplikan penurunan wahyu oleh Jibril kepada Nabi Muhammad.
Pada suatu kesempatan, Nabi melihat Jibril di ufuk yang paling tinggi, lalu Jibril turun mendekat sampai jarak dua busur panah, dan mewahyukan pesan Allah kepada Nabi Muhammad.
Pada kesempatan lain, Nabi Muhammad kembali menyaksikan turunnya Jibril. Kali ini lokasinya adalah di dekat pohon bidara yang paling ujung (sidratil muntaha) yang di dekat pohon bidara tersebut ada kebun tempat berdiam (jannatul ma’wa).
Konteks dari semua kejadian turunnya Jibril yang dialami oleh Nabi Muhammad tersebut tentu saja terjadinya di bumi ini. Jibril yang turun ke bumi, bukan Nabi yang naik ke langit.
Konteks dari semua kejadian turunnya Jibril yang dialami oleh Nabi Muhammad tersebut tentu saja terjadinya di bumi ini. Jibril yang turun ke bumi, bukan Nabi yang naik ke langit.
Jadi, cerita mikraj Nabi Muhammad naik ke langit ke tujuh itu tidak ada dasarnya di dalam Quran.
“Diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. Yang mempunyai kekuatan; maka dia menampakkan diri, sedang dia berada di ufuk yang tertinggi. Kemudian dia mendekat lalu bertambah dekat, sehingga dia berjarak dua busur panah atau lebih dekat. Kemudian dia wahyukan kepada hamba-Nya apa yang Dia (Allah) wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kalian membantahnya atas apa yang dia lihat? Dan sungguh dia telah melihatnya pada penurunan yang lain, (yaitu) di dekat pohon bidara yang paling ujung, di dekatnya ada kebun tempat berdiam. Ketika pohon bidara itu diselubungi oleh sesuatu yang menyelubungi. Penglihatannya tidak menyimpang dan tidak melampaui batas.” (Quran 53:5-17)
Share on Facebook
“Diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. Yang mempunyai kekuatan; maka dia menampakkan diri, sedang dia berada di ufuk yang tertinggi. Kemudian dia mendekat lalu bertambah dekat, sehingga dia berjarak dua busur panah atau lebih dekat. Kemudian dia wahyukan kepada hamba-Nya apa yang Dia (Allah) wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kalian membantahnya atas apa yang dia lihat? Dan sungguh dia telah melihatnya pada penurunan yang lain, (yaitu) di dekat pohon bidara yang paling ujung, di dekatnya ada kebun tempat berdiam. Ketika pohon bidara itu diselubungi oleh sesuatu yang menyelubungi. Penglihatannya tidak menyimpang dan tidak melampaui batas.” (Quran 53:5-17)
Share on Facebook