Laki-laki dan perempuan sama-sama dilekati Allah dengan berbagai ketentuan dalam beragama. Banyak dari ketentuan tersebut yang berlaku sama antara laki-laki dan perempuan, namun tidak sedikit pula yang berbeda.
Salah satu yang berbeda adalah mengenai aturan kesopanan dalam berpakaian. Terkait dengan karakter fisik yang dimiliki oleh perempuan, terdapat beberapa norma berpakaian yang harus diindahkan.
Norma berpakaian yang pertama adalah tidak menampakkan keindahan fisik, selain dari apa yang secara wajar memang akan terlihat. Norma yang pertama ini merupakan jiwa bagi norma-norma yang lainnya.
“Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan yang beriman (agar) membatasi pandangan mereka, dan menjaga kemaluan mereka, dan tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali apa-apa yang (wajar) tampak darinya ...” (Quran 24:31)
Makna “perhiasan” yang diterjemahkan dari bahasa Arab ziynat di dalam Quran memiliki cakupan yang lebih luas dari sekadar ornamen seperti gelang dan kalung. Quran juga menyebut “perhiasan” (ziynat) bagi harta dan anak-anak (18:46); kuda, bagal, dan keledai (16:8); serta bintang-bintang (37:6). Dengan kata lain, istilah “perhiasan” yang diterjemahkan dari kata ziynat ini mengacu kepada sesuatu yang dapat menimbulkan kesan indah/elok pada orang yang melihat.
Kembali ke topik kali ini, memperhatikan konteks penggunaan istilah “perhiasan” pada ayat di atas, yang mana larangan untuk menampakkannya secara spesifik dikecualikan pula terhadap pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan seks maupun terhadap anak-anak yang belum mengerti aurat perempuan, menjadi jelas bahwa ayat tersebut sedang berbicara mengenai keindahan fisik perempuan, bukan sedang membahas perhiasan semacam gelang dan kalung.
Terkait dengan pemaknaan “perhiasan” sebagai sesuatu yang dapat menimbulkan kesan indah/elok pada orang yang melihat, bisa dikatakan bahwa nyaris seluruh bagian tubuh perempuan, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, berpotensi untuk masuk dalam kategori “perhiasan” sebagaimana yang disinggung pada ayat di atas. Maka perempuan beriman hendaklah menutupi segenap tubuh mereka sehingga tidak tampak lagi keindahannya selain dari apa yang secara wajar memang akan terlihat.
Apa yang secara wajar memang akan terlihat itu adalah bentuk tubuh secara umum, bagian yang sulit tertutupi secara sempurna seperti rambut pada tepi-tepi kening, dan bagian-bagian yang terlihat sebagai konsekuensi dari keperluan untuk membiarkannya tidak tertutup; misalnya wajah untuk identifikasi, sebagian dari tangan sebatas diperlukan untuk kelancaran melakukan pekerjaan-pekerjaan, serta sebagian dari kaki sebatas diperlukan untuk menjaga kebersihan pakaian dan kemudahan langkah.
Norma berpakaian yang ke dua adalah menutupi bagian dada.
“… Dan hendaklah mereka memasang kerudung-kerudung mereka pada belahan baju mereka …” (Quran 24:31)
Frasa “kerudung-kerudung mereka” pada ayat di atas menunjukkan bahwa kerudung (khimar) itu adalah sesuatu yang memang sudah dipakai oleh para perempuan Arab pada masa itu. Jadi ayat tersebut bukanlah perintah untuk memakai kerudung, melainkan perintah untuk menutupi bagian dada.
Jika baju yang digunakan telah sempurna menutupi bagian dada, maka itu sudah memadai. Namun apabila terdapat belahan/celah pada bagian dada baju yang dipakai, maka ia harus ditudungi.
Perempuan yang berkerudung dapat langsung menggunakan kerudungnya untuk menudungi bagian dada sebagaimana pesan ayat di atas. Perempuan yang tidak berkerudung dapat memakai selendang, rompi, jaket, dan sejenisnya untuk menudungi bagian dada mereka.
Mungkin ungkapan “perempuan yang tidak berkerudung” pada paragraf di atas memunculkan pertanyaan, “Apakah memakai kerudung itu tidak wajib?” Sebagaimana yang sudah dijelaskan, tidak ada perintah untuk memakai kerudung di dalam Quran. Hanya saja, berdasarkan norma yang pertama, rambut serta area leher adalah bagian yang juga perlu ditutupi. Dan yang paling lazim digunakan wanita untuk menutupi rambut dan area lehernya adalah kerudung (meski dapat pula menggunakan penutup jenis lain).
Norma berpakaian yang ke tiga adalah memanjangkan pakaian.
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, dan anak-anak perempuanmu, dan perempuan-perempuan orang-orang yang beriman (agar) merendahkan jubah-jubah mereka pada diri mereka. Demikian itu lebih dekat bahwa mereka akan dikenal, lantas mereka tidak diganggu …” (Quran 33:59)
Istilah “jilbab” yang tercantum pada ayat 33:59 di atas telah diserap secara salah ke dalam bahasa Indonesia sebagai kerudung. Padahal, dalam bahasa aslinya jilbab itu mengacu pada pakaian panjang sejenis jubah.
Tidak berbeda dengan kerudung (khimar), frasa “jubah-jubah mereka” pada ayat di atas menunjukkan bahwa jubah (jilbab) itu adalah sesuatu yang memang sudah dipakai oleh para perempuan Arab pada masa itu. Jadi ayat tersebut bukanlah perintah untuk memakai jubah, melainkan perintah untuk memanjangkan pakaian.
Dengan mengenakan pakaian yang cukup panjang, perempuan beriman akan cenderung dikenali sebagai perempuan baik-baik, dan karenanya tidak diganggu/digoda.
Norma-norma berpakaian sebagaimana yang telah diuraikan di atas khususnya berlaku ketika perempuan beriman berada di depan umum.
Pengecualian
Sebagai pengecualian, norma-norma berpakaian tersebut boleh tidak diterapkan secara ketat ketika berada di hadapan: suami, bapak kandung, bapak mertua, anak kandung, anak tiri, saudara kandung, keponakan langsung, perempuan-perempuan dalam kalangan sendiri (mis. perempuan yang masih kerabatnya, perempuan yang tinggal serumah dengannya; bukan semua perempuan), budak, pelayan lelaki yang tidak mempunyai keinginan seks, dan anak-anak yang belum mengerti aurat perempuan.
“… kecuali kepada suami mereka, atau bapak mereka, atau bapak suami mereka, atau anak lelaki mereka, atau anak lelaki suami mereka, atau saudara lelaki mereka, atau anak lelaki saudara lelaki mereka, atau anak lelaki saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan mereka, atau apa yang tangan kanan mereka miliki, atau pelayan lelaki mereka yang tidak mempunyai keinginan seks, atau anak-anak yang belum mengerti aurat perempuan ...” (Quran 24:31)
Perhatikan bahwa tidak semua laki-laki yang kita anggap sebagai bagian dari “keluarga besar” dikecualikan oleh ayat di atas. Perempuan beriman harus tetap menerapkan norma berpakaian secara ketat manakala bertemu dengan laki-laki yang merupakan: paman, saudara sepupu, keponakan tidak langsung (mis. anak saudara sepupu), ipar, suami ipar, besan, dan saudara jauh.
Perempuan-perempuan yang sudah memasuki usia menopause dan tidak lagi berkeinginan untuk kawin diberikan kelonggaran dalam penerapan norma-norma berpakaian. Bagaimanapun, apabila mereka tetap berlaku sopan maka itulah yang lebih baik.
"Dan perempuan-perempuan menopause yang tidak ada keinginan kawin, maka tidak ada atas mereka kesalahan jika mereka menanggalkan pakaian mereka tanpa (maksud) memamerkan perhiasan, dan bahwa berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka …" (Quran 24:60)
Demikianlah pengaturan Allah berkenaan dengan kesopanan perempuan dalam berpakaian. Dengan mengindahkannya berarti kita memelihara kehormatan diri kita sendiri, serta turut menciptakan suasana yang kondusif untuk menjaga kebersihan hati.
(Terakhir diperbarui: 23 April 2019)
Share on Facebook
Salah satu yang berbeda adalah mengenai aturan kesopanan dalam berpakaian. Terkait dengan karakter fisik yang dimiliki oleh perempuan, terdapat beberapa norma berpakaian yang harus diindahkan.
Norma berpakaian yang pertama adalah tidak menampakkan keindahan fisik, selain dari apa yang secara wajar memang akan terlihat. Norma yang pertama ini merupakan jiwa bagi norma-norma yang lainnya.
“Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan yang beriman (agar) membatasi pandangan mereka, dan menjaga kemaluan mereka, dan tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali apa-apa yang (wajar) tampak darinya ...” (Quran 24:31)
Makna “perhiasan” yang diterjemahkan dari bahasa Arab ziynat di dalam Quran memiliki cakupan yang lebih luas dari sekadar ornamen seperti gelang dan kalung. Quran juga menyebut “perhiasan” (ziynat) bagi harta dan anak-anak (18:46); kuda, bagal, dan keledai (16:8); serta bintang-bintang (37:6). Dengan kata lain, istilah “perhiasan” yang diterjemahkan dari kata ziynat ini mengacu kepada sesuatu yang dapat menimbulkan kesan indah/elok pada orang yang melihat.
Kembali ke topik kali ini, memperhatikan konteks penggunaan istilah “perhiasan” pada ayat di atas, yang mana larangan untuk menampakkannya secara spesifik dikecualikan pula terhadap pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan seks maupun terhadap anak-anak yang belum mengerti aurat perempuan, menjadi jelas bahwa ayat tersebut sedang berbicara mengenai keindahan fisik perempuan, bukan sedang membahas perhiasan semacam gelang dan kalung.
Terkait dengan pemaknaan “perhiasan” sebagai sesuatu yang dapat menimbulkan kesan indah/elok pada orang yang melihat, bisa dikatakan bahwa nyaris seluruh bagian tubuh perempuan, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, berpotensi untuk masuk dalam kategori “perhiasan” sebagaimana yang disinggung pada ayat di atas. Maka perempuan beriman hendaklah menutupi segenap tubuh mereka sehingga tidak tampak lagi keindahannya selain dari apa yang secara wajar memang akan terlihat.
Apa yang secara wajar memang akan terlihat itu adalah bentuk tubuh secara umum, bagian yang sulit tertutupi secara sempurna seperti rambut pada tepi-tepi kening, dan bagian-bagian yang terlihat sebagai konsekuensi dari keperluan untuk membiarkannya tidak tertutup; misalnya wajah untuk identifikasi, sebagian dari tangan sebatas diperlukan untuk kelancaran melakukan pekerjaan-pekerjaan, serta sebagian dari kaki sebatas diperlukan untuk menjaga kebersihan pakaian dan kemudahan langkah.
Norma berpakaian yang ke dua adalah menutupi bagian dada.
“… Dan hendaklah mereka memasang kerudung-kerudung mereka pada belahan baju mereka …” (Quran 24:31)
Frasa “kerudung-kerudung mereka” pada ayat di atas menunjukkan bahwa kerudung (khimar) itu adalah sesuatu yang memang sudah dipakai oleh para perempuan Arab pada masa itu. Jadi ayat tersebut bukanlah perintah untuk memakai kerudung, melainkan perintah untuk menutupi bagian dada.
Jika baju yang digunakan telah sempurna menutupi bagian dada, maka itu sudah memadai. Namun apabila terdapat belahan/celah pada bagian dada baju yang dipakai, maka ia harus ditudungi.
Perempuan yang berkerudung dapat langsung menggunakan kerudungnya untuk menudungi bagian dada sebagaimana pesan ayat di atas. Perempuan yang tidak berkerudung dapat memakai selendang, rompi, jaket, dan sejenisnya untuk menudungi bagian dada mereka.
Mungkin ungkapan “perempuan yang tidak berkerudung” pada paragraf di atas memunculkan pertanyaan, “Apakah memakai kerudung itu tidak wajib?” Sebagaimana yang sudah dijelaskan, tidak ada perintah untuk memakai kerudung di dalam Quran. Hanya saja, berdasarkan norma yang pertama, rambut serta area leher adalah bagian yang juga perlu ditutupi. Dan yang paling lazim digunakan wanita untuk menutupi rambut dan area lehernya adalah kerudung (meski dapat pula menggunakan penutup jenis lain).
Norma berpakaian yang ke tiga adalah memanjangkan pakaian.
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, dan anak-anak perempuanmu, dan perempuan-perempuan orang-orang yang beriman (agar) merendahkan jubah-jubah mereka pada diri mereka. Demikian itu lebih dekat bahwa mereka akan dikenal, lantas mereka tidak diganggu …” (Quran 33:59)
Istilah “jilbab” yang tercantum pada ayat 33:59 di atas telah diserap secara salah ke dalam bahasa Indonesia sebagai kerudung. Padahal, dalam bahasa aslinya jilbab itu mengacu pada pakaian panjang sejenis jubah.
Tidak berbeda dengan kerudung (khimar), frasa “jubah-jubah mereka” pada ayat di atas menunjukkan bahwa jubah (jilbab) itu adalah sesuatu yang memang sudah dipakai oleh para perempuan Arab pada masa itu. Jadi ayat tersebut bukanlah perintah untuk memakai jubah, melainkan perintah untuk memanjangkan pakaian.
Dengan mengenakan pakaian yang cukup panjang, perempuan beriman akan cenderung dikenali sebagai perempuan baik-baik, dan karenanya tidak diganggu/digoda.
Norma-norma berpakaian sebagaimana yang telah diuraikan di atas khususnya berlaku ketika perempuan beriman berada di depan umum.
Pengecualian
Sebagai pengecualian, norma-norma berpakaian tersebut boleh tidak diterapkan secara ketat ketika berada di hadapan: suami, bapak kandung, bapak mertua, anak kandung, anak tiri, saudara kandung, keponakan langsung, perempuan-perempuan dalam kalangan sendiri (mis. perempuan yang masih kerabatnya, perempuan yang tinggal serumah dengannya; bukan semua perempuan), budak, pelayan lelaki yang tidak mempunyai keinginan seks, dan anak-anak yang belum mengerti aurat perempuan.
“… kecuali kepada suami mereka, atau bapak mereka, atau bapak suami mereka, atau anak lelaki mereka, atau anak lelaki suami mereka, atau saudara lelaki mereka, atau anak lelaki saudara lelaki mereka, atau anak lelaki saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan mereka, atau apa yang tangan kanan mereka miliki, atau pelayan lelaki mereka yang tidak mempunyai keinginan seks, atau anak-anak yang belum mengerti aurat perempuan ...” (Quran 24:31)
Perhatikan bahwa tidak semua laki-laki yang kita anggap sebagai bagian dari “keluarga besar” dikecualikan oleh ayat di atas. Perempuan beriman harus tetap menerapkan norma berpakaian secara ketat manakala bertemu dengan laki-laki yang merupakan: paman, saudara sepupu, keponakan tidak langsung (mis. anak saudara sepupu), ipar, suami ipar, besan, dan saudara jauh.
Perempuan-perempuan yang sudah memasuki usia menopause dan tidak lagi berkeinginan untuk kawin diberikan kelonggaran dalam penerapan norma-norma berpakaian. Bagaimanapun, apabila mereka tetap berlaku sopan maka itulah yang lebih baik.
"Dan perempuan-perempuan menopause yang tidak ada keinginan kawin, maka tidak ada atas mereka kesalahan jika mereka menanggalkan pakaian mereka tanpa (maksud) memamerkan perhiasan, dan bahwa berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka …" (Quran 24:60)
Demikianlah pengaturan Allah berkenaan dengan kesopanan perempuan dalam berpakaian. Dengan mengindahkannya berarti kita memelihara kehormatan diri kita sendiri, serta turut menciptakan suasana yang kondusif untuk menjaga kebersihan hati.
(Terakhir diperbarui: 23 April 2019)
Share on Facebook