8.11.10

Berhaji ke Baitullah (bagian-1)

Pengantar
 
Sesungguhnya ibadah haji pada saat ini belum dapat dilaksanakan secara sempurna sesuai dengan yang disyariatkan Allah.  Masih terdapat suatu penghalang yang nanti dijelaskan di bagian “Menyembelih Kurban” pada tulisan ini.  Meskipun demikian, pembahasan tentang haji ini tetap saya uraikan sebagai sebuah wawasan untuk kemudian diterapkan apabila keadaan sudah memungkinkan.
 
Makna Dan Lokasi Haji
 
Hajj artinya berziarah.  Ziarah dilakukan ke Baitullah (rumah Allah), yaitu bangunan Ka’bah yang terletak di kota Mekah.
 
Sebutan Ka’bah sebagai “rumah Allah” berkaitan dengan kedudukannya selaku bangunan yang ditetapkan Allah sebagai pusat peribadatan manusia kepada-Nya.
 
Selain disebut sebagai rumah Allah, bangunan persegi empat tersebut memiliki beberapa sebutan lain di dalam Quran, yaitu rumah purba (baytul ‘atiq), dan rumah larangan (baytul haraam).
 
Nama-nama tersebut memiliki kesesuaian dengan keadaan Ka’bah.  Ka’bah disebut rumah purba karena memang keberadaannya yang sangat awal di dalam sejarah peribadatan manusia.  Bahkan Nabi Ibrahim bukanlah orang yang membangun Ka’bah untuk pertama kalinya.  Nabi Ibrahim mendapati situs tersebut telah ada ketika beliau sampai di jazirah Arab.  Apa yang beliau bersama dengan Nabi Ismail kemudian lakukan adalah membersihkannya dan meninggikan pondasinya.
 
Sebutan Ka’bah sebagai rumah larangan tidak terlepas dari posisinya yang berada di tengah-tengah Masjidil Haram (masjid larangan) yang merupakan zona damai di mana manusia dilarang melakukan peperangan di dalamnya.

Hukum Haji

Melakukan haji ke Baitullah hukumnya wajib bagi orang yang telah mampu mengadakan perjalanan ke sana.
 
Mereka yang belum sanggup tidak perlu memaksakan diri.  Sedangkan bagi mereka yang enggan untuk berhaji karena mungkin beranggapan bahwa hal tersebut hanya buang-buang uang, ketahuilah bahwa Allah tidak butuh kepada manusia.
 
“… Dan kewajiban manusia kepada Allah untuk berhaji ke rumah itu, (bagi) siapa yang sanggup mengadakan perjalanan ke sana.  Dan barang siapa mengingkari, maka sesungguhnya Allah Kaya dari seluruh alam.” (Quran 3:97)

Musim Haji

Waktu-waktu untuk melakukan haji telah diketahui oleh masyarakat Arab sejak sebelum hadirnya Nabi Muhammad.  Sebabnya karena ritual tersebut sudah dilakukan secara turun-temurun dengan mengacu kepada tradisi Nabi Ibrahim, meskipun dalam praktiknya masyarakat Arab yang kala itu masih dalam “kebodohan” telah mencampuradukkan ritual haji mereka dengan penyembahan terhadap berbagai berhala.

“Haji itu (pada) beberapa bulan yang dimaklumi …” (Quran 2:197)

Sebagai penanda mulainya musim haji, masyarakat Arab memberi nama “Dzulhijjah” untuk bulan jatuhnya musim haji.  Dzulhijjah adalah bulan ke dua-belas pada penanggalan Arab yang didasarkan pada peredaran bulan (qamariyah/lunar).
 
Nama-nama bulan Arab, termasuk “Dzulhijjah,” tetap dipertahankan ketika pemerintahan Islam menetapkan penanggalan Hijriah.
 
Bulan-bulan pelaksanaan haji yang disebut juga “bulan haram” itu ada empat bulan.  Ia berawal dari bulan Dzulhijjah dan berlanjut sampai tiga bulan berikutnya yaitu Muharram, Shafar, dan Rabi’ul-Awwal sehingga secara keseluruhan genap empat bulan.
 
“Sesungguhnya bilangan bulan-bulan di sisi Allah (adalah) dua belas bulan di dalam ketetapan Allah pada hari Dia menciptakan langit dan bumi, empat di antaranya (bulan-bulan) haram …” (Quran 9:36)
 
Haji dilaksanakan setiap tahun.  Sebagaimana puasa dilakukan setiap kali kita bertemu dengan bulan Ramadan, haji pun dilakukan pada setiap kali kita bertemu dengan musim haji.

Pakaian

Tidak ada aturan khusus mengenai pakaian ketika berhaji.  Dalam hal perjalanan ke Mekah cukup jauh, seperti dari Indonesia, kita dapat memakai pakaian yang nyaman untuk perjalanan jauh dan kemudian menggantinya dengan pakaian yang lebih pantas ketika nanti akan melakukan peribadatan.

Larangan Dalam Haji

Ketika kita telah keluar dari rumah dengan maksud untuk berhaji ke Baitullah, berlaku beberapa larangan yaitu: berkata cabul atau bersetubuh, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan.
 
“Haji itu (pada) beberapa bulan yang dimaklumi.  Maka siapa yang telah menetapkan diri untuk berhaji di dalamnya, maka tidak boleh berkata cabul atau bersetubuh, dan tidak boleh berbuat fasik, dan tidak boleh berbantah-bantahan di dalam haji itu …” (Quran 2:197)
 
Di samping itu kita juga dilarang membunuh hewan buruan darat.  Jika melanggarnya, maka kita terkena hukuman menyembelih kurban.
 
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian membunuh hewan buruan, ketika kalian sedang ihram (haji atau umrah).  Dan barang siapa di antara kalian membunuhnya dengan sengaja, maka balasannya hewan ternak yang sepadan dengan (hewan buruan) yang dibunuhnya itu, menurut putusan dua orang yang adil di antara kalian sebagai kurban yang diantar ke Ka‘bah ...” (Quran 5:95)
 
Selain menyembelih kurban, ada dua opsi lain yang dapat kita pilih, yaitu memberi makan orang miskin atau berpuasa. 
 
“… atau kafarat memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa sebanding dengan (makanan yang dikeluarkan) itu ...” (Quran 5:95)
 
Adapun hewan laut seperti ikan, udang, cumi-cumi, dan sebagainya tidak terlarang untuk ditangkap dan dimakan ketika ihram berdasarkan Quran surah 5:96.

Ritual Haji

1.  Bertolak dari Arafah
 
Setelah sampai di kota Mekah, selanjutnya kita siap untuk memulai ritual haji.
 
Haji diawali dengan bertolak bersama-sama dari Arafah menuju Masjidil Haram.  Arafah adalah wilayah perbukitan yang letaknya kurang lebih 22 kilometer arah tenggara Masjidil Haram.
 
Kita turut membawa pula hewan kurban yang nanti akan kita sembelih di sekitar Ka’bah.  Hewan-hewan ini dipakaikan kalung berupa pintalan tali/benang sebagai tanda bahwa ia adalah hewan kurban ibadah haji (lihat Quran 5:2, 5:97).  Dengan tanda khusus itu diharapkan orang-orang akan maklum, dan tidak menghalangi hewan-hewan tersebut untuk sampai ke tempat penyembelihannya.
 
Kita boleh memanfaatkan hewan-hewan kurban tersebut dengan menungganginya maupun memerah susunya sampai menjelang waktu penyembelihannya. 
 
“Bagi kalian padanya (hewan kurban) ada beberapa manfaat sampai waktu tertentu ...” (Quran 22:33)
 
Selang beberapa waktu perjalanan dari Arafah, kita akan bertemu dengan petunjuk yang menandakan bahwa kita telah memasuki tanah haram.  Petunjuk tersebut aslinya adalah bentangan alam berupa bukit batu.  Sekarang pada posisi tersebut telah dipasangi pula marka yang menunjukkan batas tanah haram.  Ketika melalui penanda tersebut kita disuruh agar banyak menyebut Allah.
 
“… Maka apabila kalian telah membanjir dari Arafah, maka sebutlah Allah di sisi masy’aril haram.  Dan sebutlah Dia sebagaimana Dia telah menunjuki kalian, meskipun sebelumnya kalian sungguh termasuk orang-orang yang sesat.” (Quran 2:198)
 
2.  Menyembelih Kurban
 
Setelah sampai ke Ka’bah, kita menyembelih hewan kurban yang telah kita persiapkan.
 
“Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka, dan menyebut nama Allah pada beberapa hari yang dimaklumi atas rezeki yang Dia berikan kepada mereka (berupa) hewan-hewan ternak.  Maka makanlah sebagian darinya, dan beri makanlah orang-orang susah yang membutuhkan.” (Quran 22:28)
 
“… kemudian tempat penyembelihannya (adalah) di sekitar rumah purba itu (Ka’bah).” (Quran 22:33)
 
Kita menyebut nama Allah ketika hewan kurban tersebut dibariskan untuk disembelih.  Sebagian dari daging sembelihan itu kita makan, dan sebagiannya lagi (setelah diolah hingga siap untuk dimakan) diberikan kepada orang-orang susah yang membutuhkan; baik yang meminta maupun yang tidak meminta.
 
“… maka sebutlah nama Allah atasnya ketika dibariskan (untuk disembelih).  Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (tidak meminta) dan orang yang meminta …” (Quran 22:36)
 
Dalam praktiknya sekarang ini, kita tidak mungkin membawa hewan kurban ke sekitar Ka’bah dan menyembelihnya di sana.  Sejalan dengan "syariat ulama" yang tidak memasukkan penyembelihan kurban di sekitar Ka’bah sebagai rukun haji, area Ka’bah saat ini tidak dipersiapkan untuk keperluan itu.
 
Saat ini penyembelihan kurban hanya dilakukan dalam rangka pembayaran denda haji/umrah, dan itu pun bukan di area Ka’bah.  Pemerintah Arab Saudi telah mengatur tempat-tempat penyembelihan sejauh beberapa kilometer dari Masjidil Haram.
 
Sebagian pihak berdalih bahwa yang penting penyembelihan hewan kurban tersebut dilakukan masih di dalam wilayah tanah haram.  Pendapat yang demikian jelas tidak dapat diterima mengingat ketentuan Allah mengenai tempat penyembelihan telah definit, yaitu area Ka’bah.
 
Ka’bah memang terletak di tengah-tengah tanah haram, namun kita tidak bisa menyamakan segenap tanah haram dengan Ka’bah.  Apakah jika kita berjanji untuk bertemu di Monas (Jakarta), maka boleh saja kita datangnya ke Ancol dengan alasan bahwa Ancol itu pun masih Jakarta?
 
Menyikapi keadaan ini, maka siapa yang ingin melakukan ibadah haji dengan sempurna hendaklah menunggu sampai area Ka’bah kembali dijadikan tempat penyembelihan.  Dan mungkin keadaan tersebut baru akan tercapai ketika kepengurusan Masjidil Haram—jika Allah menghendaki—berada di tangan orang-orang yang bersyariatkan kitabullah.
 
… Bersambung ke bagian-2
 
(Terakhir diperbarui: 12 April 2022)

Share on Facebook

Artikel Terkait: