11.7.11

Ketentuan Perceraian

Perceraian di dalam rumah tangga meskipun tidak diharapkan namun kadang harus terjadi.  Allah tidak membenci perceraian.  Malah Dia memahami adanya kenyataan tersebut.

“Dan jika keduanya berpisah, Allah akan mencukupi masing-masing dari keluasan (karunia)-Nya …” (Quran 4:130)

Terbukanya pintu perceraian adalah sangat realistis.  Meski perselisihan suami-istri perlu diupayakan untuk damai, namun tak dapat dipungkiri bahwa kadang situasinya sudah sedemikian rupa sehingga perceraian adalah jalan terbaik yang dapat diambil.

Perceraian juga akan mencegah status “menggantung” di antara pasangan yang sudah tidak menemukan kecocokan.  Di dalam masyarakat yang mengharamkan perceraian, kerap terjadi bahwa perkawinan sepasang suami-istri tinggal “status”nya saja, karena pada praktiknya mereka sudah lama “bercerai.”  Situasi tanpa kejelasan seperti itu tentu tidak baik, dan bukan bentuk hubungan yang dikehendaki oleh Allah.

Allah telah mengamanatkan bahwa seorang suami wajib untuk memberi nafkah lahir-batin kepada istrinya sesuai kemampuan, dan seorang istri wajib untuk mematuhi suaminya dalam batas kepatutan.  Jika batas-batas yang ditetapkan Allah tersebut tidak terlaksanakan, lebih baik ikatan diakhiri agar tidak menjadi kedurhakaan terhadap-Nya.

Seorang suami dapat menceraikan istrinya dengan sebuah pernyataan untuk itu.  Seorang istri pun dimungkinkan untuk mengajukan cerai atas suaminya.  Apabila istri yang menuntut cerai, sebagai tebusannya dia wajib mengembalikan mahar dan harta benda lain yang telah diberikan suaminya.

“… Dan tidak halal bagi kalian (suami) mengambil (kembali) sesuatu dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka (istri) kecuali bahwa keduanya khawatir tidak dapat melaksanakan batas-batas (hukum) Allah.  Maka jika kalian khawatir bahwa keduanya tidak dapat melaksanakan batas-batas (hukum) Allah, maka tidak ada kesalahan pada keduanya atas tebusan yang dia (istri) bayarkan …” (Quran 2:229)

Yang dikembalikan oleh istri adalah pemberian dari suami yang masih ada wujudnya.  Jadi, makanan yang telah dimakan maupun barang-barang yang telah habis terpakai tidak lagi diperhitungkan.  Hal ini kita ketahui dari digunakannya kata “mengambil” di surah 2:229 dan 4:20-21.  Logikanya, yang bisa diambil tentulah hanya yang masih ada.

Masa Tenggang (idah)
Di dalam proses perceraian ada ketentuan tentang masa tenggang (idah) antara pernyataan cerai hingga akhirnya resmi bercerai.  Perhitungan masa tenggang ini harus benar-benar diperhatikan dan diindahkan oleh orang beriman.  Adanya masa tenggang akan memastikan bahwa ketika telah resmi bercerai si perempuan tidak dalam kondisi sedang mengandung janin dari mantan suaminya.

Ketentuan Allah tentang masa tenggang tersebut adalah sebagai berikut:

1. Secara umum, masa tenggang adalah selama tiga siklus haid.  Jadi apabila ketika jatuh pernyataan cerai dia dalam keadaan haid, idahnya berakhir setelah dia mendapat tiga kali haid lagi di luar haidnya yang sekarang.  Sedangkan jika dia dalam keadaan bersih, idahnya berakhir setelah dia mendapat tiga kali bersih lagi di luar bersihnya yang sekarang.

“Dan perempuan-perempuan yang diceraikan menunggu diri (selama) tiga siklus haid, dan tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang telah diciptakan Allah di dalam rahim mereka jika mereka percaya kepada Allah dan hari akhir …” (Quran 2:228)

2. Tidak ada masa tenggang bagi istri yang diceraikan sebelum disentuh secara intim.

“... apabila kalian mengawini perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh mereka, maka tidak ada atas mereka masa tenggang yang kalian perlu menghitungnya  …” (Quran 33:49)

3. Bagi perempuan yang sudah tidak haid lagi (menopause) atau yang siklus haidnya tidak diketahui, dan juga bagi perempuan yang belum pernah haid, masa tenggang mereka adalah tiga bulan.

“Dan perempuan-perempuan kalian yang mereka berputus asa dari haid (selanjutnya), jika kalian ragu, maka masa tenggang mereka (adalah) tiga bulan, dan (begitu pula) mereka yang belum pernah haid ...” (Quran 65:4)

4. Bagi perempuan yang sedang hamil, masa tenggangnya adalah sampai dia melahirkan.

“... Dan yang mempunyai kandungan (hamil), batas waktu mereka (adalah) sampai mereka melahirkan kandungan mereka ...” (Quran 65:4)

5. Perempuan yang sedang dalam masa tenggang harus tetap diberi tempat tinggal dan nafkah sesuai dengan kemampuan suami.

"Tempatkanlah mereka di mana kalian bertempat tinggal sesuai pendapatan kalian, dan janganlah kalian menyusahkan mereka untuk menyempitkan mereka.  Dan jika mereka mempunyai kandungan (hamil), maka nafkahilah mereka sampai mereka melahirkan kandungan mereka …” (Quran 65:6)

Seks dalam Masa Tenggang
Sering jadi pertanyaan bagaimana hukum persetubuhan di dalam masa tenggang.

Status pasangan yang berada di dalam masa tenggang pada dasarnya masih suami-istri.  Karena itu, hubungan seks di antara mereka masih tetap diperbolehkan.  Namun jika hal tersebut terjadi, masa tenggang otomatis berakhir dan suami dianggap telah merujuki istrinya.

Saksi
Apabila masa tenggang berakhir akan ada dua kemungkinan keputusan: memutuskan untuk rujuk, atau memutuskan untuk resmi bercerai.  Apapun keputusannya hendaknya disaksikan oleh dua orang saksi yang adil.

“Maka apabila mereka telah sampai (pada) batas waktu mereka, maka pertahankanlah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik.  Dan persaksikanlah dengan dua orang yang adil di antara kalian, dan tegakkanlah kesaksian itu karena Allah …” (Quran 65:2)

Pemberian Perpisahan
Ketika perceraian terjadi, mantan suami memberikan suatu pemberian yang pantas untuk mantan istrinya.  Ini menunjukkan bahwa perceraian sekalipun hendaknya diakhiri dengan baik.

“Dan bagi perempuan-perempuan yang diceraikan (diberi) pemberian (mutah) dengan patut, (sebagai) suatu kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (Quran 2:241)

Untuk istri yang diceraikan sebelum disentuh, atau yang belum ditetapkan maharnya, suami tetap wajib memberi suatu pemberian yang pantas.

“Tidak ada kesalahan atas kalian jika kalian menceraikan perempuan-perempuan yang kalian belum menyentuh mereka, atau (belum) kalian tentukan bagi mereka bagian yang ditentukan (mahar).  Dan berilah mereka penyenang (mutah)--bagi yang mampu menurut kesanggupannya, dan bagi yang miskin menurut kesanggupannya--suatu pemberian yang pantas.  (Yang demikian adalah) suatu kewajiban atas orang-orang yang berlaku baik.” (Quran 2:236)

Untuk istri yang diceraikan sebelum disentuh namun sudah ditetapkan maharnya, suami memberi setengah dari jumlah yang sudah ditetapkan itu.  Kalau mantan istri atau walinya membebaskan, mantan suami terbebas dari kewajiban untuk membayar setengah mahar tersebut.  Bisa pula mantan suami yang membebaskan dengan membayar penuh mahar yang telah ditetapkan, dan inilah yang lebih utama.

“Dan jika kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh mereka, padahal kalian sungguh telah menentukan bagi mereka bagian yang ditentukan (mahar), maka (berilah) setengah dari apa yang telah kalian tentukan, kecuali jika mereka membebaskan atau dia (wali) yang di tangannya ikatan perkawinan membebaskan.  Dan pembebasan itu lebih dekat kepada takwa …” (Quran 2:237)

Pengasuhan Anak
Nafkah atas anak-anak yang orang tuanya bercerai tetap menjadi tanggung jawab bapak mereka (mantan suami).  Jika mantan istri menyusukan bayi kita, kita wajib untuk membayar imbalan atas penyusuan tersebut karena apa yang dikonsumsi bayi kita adalah menjadi tanggungan pembiayaan kita selaku bapaknya.

“... jika mereka menyusukan untuk kalian, maka berilah mereka imbalan mereka; dan bermusyawarahlah di antara kalian dengan baik ...” (Quran 65:6)

Sejalan dengan semangat musyawarah yang terkandung di dalam surah 65:6 di atas, urusan pengasuhan anak—semisal mereka akan tinggal dengan siapa, bagaimana mengatur waktu pertemuan dengan orang tua yang tidak tinggal bersama mereka, dll—hendaknya dimusyawarahkan dengan sebaik-baiknya.

Share on Facebook

Artikel Terkait: