21.6.11

Ketentuan dalam Rumah Tangga

Pertama-tama hendaklah suami-istri meniatkan bahwa rumah tangga mereka bukan hanya bahtera untuk mengarungi hidup di dunia ini saja.  Lebih dari itu, rumah tangga adalah juga tempat di mana kita membangun diri dan keluarga kita dalam menyongsong kehidupan akhirat kelak.

Dalam menjalani kehidupan rumah tangga sehari-hari, Allah telah menetapkan kewajiban-kewajiban yang harus diindahkan baik oleh suami maupun oleh istri.  Suami dan istri hendaklah melaksanakan kewajibannya masing-masing untuk tercapainya kehidupan berumah tangga yang baik.

Kewajiban Suami
Seorang suami berkewajiban menafkahi istrinya (tempat tinggal, makanan, pakaian, dll) sesuai dengan kemampuan.

“Para laki-laki (suami) adalah pemimpin-pemimpin atas para perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka ...” (Quran 4:34)

Di samping memberi nafkah lahir, seorang suami juga wajib untuk memberi “nafkah batin” dengan “mendatangi” istrinya secara berkala.

“… datangilah mereka sebagaimana Allah telah memerintahkan kalian …” (Quran 2:222)

Apabila seorang laki-laki memiliki lebih dari satu orang istri, dia tidak boleh terlalu condong kepada istri tertentu dan mengabaikan istrinya yang lain.

“Dan kalian tidak akan mampu berbuat adil di antara perempuan-perempuan (istri) itu walaupun kalian sangat ingin, maka janganlah kalian condong dengan segenap kecondongan (kepada istri tertentu) sehingga kalian biarkan dia (istri yang lain) seperti ditangguhkan …” (Quran 4:129)

Kewajiban Istri
Adapun kewajiban seorang istri adalah untuk mematuhi suaminya selaku kepala keluarga.  Tentunya kepatuhan ini adalah sepanjang yang dituntut oleh sang suami masih dalam batas-batas kepatutan.

Quran menceritakan bahwa salah satu sifat dari seorang istri yang baik (salehah) adalah tunduk kepada suami.

“… Maka perempuan-perempuan yang baik adalah yang tunduk, yang menjaga pada ketidakhadiran (suaminya) apa yang telah dijaga Allah ...” (Quran 4:34)

Kedurhakaan Istri
Apabila seorang istri membangkang kepada suaminya, agama sudah mengatur tindakan apa yang mesti diambil oleh suami dalam upaya mengembalikan istrinya kepada kepatuhan.

Tindakan pertama adalah suami menasihati istrinya.  Hendaklah diingatkan bahwa sebagai seorang istri dia wajib untuk patuh kepada suami.  Jika nasihat yang telah diberikan tidak menjadikan istri tersadar dari kekhilafannya, suami hendaklah memisahkan diri dari tempat tidur istrinya.

Kalau setelah beberapa waktu dipisahranjangkan si istri masih belum berbalik mematuhi suaminya, si suami mengambil tindakan terakhir dengan memukulnya.

“… perempuan-perempuan yang kalian khawatirkan kedurhakaannya, maka nasihatilah mereka, dan tinggalkanlah mereka di pembaringan-pembaringan mereka, dan pukullah mereka.  Kemudian jika mereka telah mematuhi kalian, maka janganlah kalian mencari suatu jalan (untuk menyusahkan) terhadap mereka.  Sesungguhnya Allah Tinggi, (lagi) Besar.” (Quran 4:34)

Ada kalangan yang menganggap ketentuan “pemukulan” tersebut sebagai tindak kekerasan yang tidak sepatutnya dilakukan.  Pemerintahan yang sudah termakan gagasan “feminisme” bahkan akan mempidanakan suami yang memukul istri.

Memukul, memanglah suatu tindak kekerasan.  Namun jangan lupa bahwa pemukulan dalam konteks yang sedang kita bahas ini adalah sebuah hukuman.  Konsekuensi dari kesalahan yang tidak kunjung diperbaiki.

Tidak aneh bahwa sebuah “hukuman” mempunyai sifat yang keras.  Yang sebenarnya harus disoroti adalah mengapa seorang istri sampai durhaka kepada suaminya.  Bukankah dia (semestinya) tahu bahwa sebagai istri dia wajib mematuhi suami?  Bukankah sebelumnya dia telah diperingatkan lewat tindakan pisah ranjang?  Bukankah sebelumnya lagi dia telah dinasihati?

Jadi soal “pemukulan” ini harus dilihat secara utuh, jangan hanya sepotong.  Istri yang sadar akan kewajibannya tidak akan berurusan dengan sanksi pemukulan tersebut.  Sama halnya kita tidak akan berurusan dengan sanksi potong tangan jika kita memang tidak mencuri.

Para suami pun harus ingat bahwa pemukulan pada istri adalah tindakan terakhir.  Ia hanya dilakukan apabila sebelumnya istri telah dinasihati, lalu dipisahranjangkan namun tetap membangkang.  Dalam situasi pergaulan sehari-hari yang “normal,” suami tidak boleh gampang memukul istri karena hal tersebut bertentangan dengan perintah Allah untuk mempergauli istri dengan cara yang baik (lihat Quran 4:19).

Kedurhakaan Suami
Di dalam Islam bukan kedurhakaan istri saja yang dikenal, tetapi ada juga istilah kedurhakaan suami.  Seorang suami dikatakan durhaka apabila dia memperlakukan istrinya dengan tidak menyenangkan (mis: tak acuh, dingin, kasar).  Sikap demikian mungkin timbul dari rasa kurang berkenan suami terhadap istrinya tersebut.

Dalam kasus seperti ini suami dan istri boleh memperbarui komitmen-komitmen yang sebelumnya telah mereka sepakati, sekiranya hal itu dapat memperbaiki hubungan di antara mereka berdua.

Mungkin istri akan melepas sebagian dari haknya sebagai penawaran kepada suami.  Misalnya, dia merelakan jatah uang belanjanya dikurangi asalkan suaminya mau kembali mempedulikannya.

“Dan jika seorang perempuan khawatir akan kedurhakaan atau perpalingan dari suaminya, maka tidak bersalah atas keduanya melakukan perbaikan/perdamaian di antara mereka berdua, dan perbaikan/perdamaian itu lebih baik, sedang diri (manusia) itu tabiatnya kikir …” (Quran 4:128)

Juru Damai
Terkadang perselisihan yang terjadi antara suami-istri sudah sedemikian parah sehingga mengarah pada perpecahan.  Kalau ini yang terjadi, keluarga hendaklah menunjuk seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang dari keluarga perempuan untuk merundingkan jalan perdamaian.

Keberadaan juru damai ini penting, karena kemungkinan besar suami-istri yang sedang terlibat dalam pertikaian sudah tidak lagi bisa jernih dalam melihat persoalan.  Jika kedua belah pihak memang punya iktikad baik untuk berdamai, insya Allah perselisihan tersebut akan dapat diselesaikan dengan baik.

“Dan jika kalian khawatir terjadi perpecahan antara keduanya, maka utuslah seorang juru damai dari keluarga laki-laki, dan seorang juru damai dari keluarga perempuan.  Jika keduanya menghendaki perdamaian, Allah akan mendatangkan kecocokan antara mereka berdua …” (Quran 4:35)

Hubungan Seksual
Salah satu aspek dalam hidup berumah tangga adalah hubungan seksual suami-istri.  Hubungan ini bersifat timbal balik.  Suami mencari kenyamanan dari istrinya, begitupun istri mencari kenyamanan dari suaminya.  Dalam bahasa Quran disebutkan bahwa suami dan istri adalah “pakaian” satu sama lain.

“… mereka adalah pakaian bagi kalian, dan kalian adalah pakaian bagi mereka ...” (Quran 2:187)

Mengenai gaya dalam berhubungan seksual pada dasarnya terpulang kepada masing-masing pasangan suami-istri.  Tidak ada batasan khusus di dalam Quran terkait dengan hal tersebut.  Bebas saja.

“Perempuan-perempuan (istri) kalian adalah ladang bagi kalian, maka datangilah ladang kalian sekehendak kalian ...” (Quran 2:223)

Larangan Hubungan Seksual
Namun ada kondisi tertentu ketika hubungan seksual suami-istri tidak diperbolehkan, yaitu:

1. Saat seseorang telah memutuskan untuk diam beribadah (iktikaf) di masjid.  Pelaku iktikaf dituntut untuk meninggalkan aktivitas seksual di dalam periode pelaksanaan iktikaf.

“… dan janganlah campuri mereka sedang kalian iktikaf di masjid …” (Quran 2:187)

2. Saat sedang menjalani ibadah haji.  “… siapa yang telah menetapkan diri untuk berhaji di dalamnya, maka janganlah berkata cabul atau bersetubuh …” (Quran 2:197)

3. Saat istri sedang haid.  “… maka jauhilah perempuan-perempuan dalam haid itu, dan janganlah kalian dekati mereka sampai mereka bersih …” (Quran 2:222)

Ketika istri sedang haid, kita bukan saja tidak boleh melakukan hubungan seks dengannya, tetapi juga dilarang untuk mendekatinya.  Jadi keintiman dalam bentuk ciuman, pelukan, dan sebagainya pun tentu mustahil boleh dilakukan kepada istri yang sedang menstruasi.

4. Suami yang men-“zihar” istrinya dengan berkata, “Kamu bagiku seperti punggung ibuku,” yang bermakna mengharamkan diri dari mencampuri istrinya, dan dia belum menunaikan tebusan untuk menarik kembali ucapan tersebut.

Tebusan yang disyaratkan jika suami ingin menebus ucapannya yang demikian itu adalah dengan memerdekakan seorang budak.  Jika dia tidak mampu melaksanakannya, baik karena tidak mempunyai biaya ataupun karena tidak ada budak yang bisa didapatkan, maka diganti dengan berpuasa dua bulan berturut-turut.  Apabila tidak sanggup berpuasa dua bulan berturut-turut, maka diganti dengan memberi makan enam puluh orang miskin.

“Dan orang-orang yang menzihar istri-istri mereka, kemudian mereka menarik kembali apa yang telah mereka katakan, maka memerdekakan seorang budak sebelum mereka berdua saling menyentuh ... Maka siapa yang tidak mendapatkan, maka berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum mereka berdua saling menyentuh.  Kemudian siapa yang tidak sanggup, maka memberi makan enam puluh orang miskin …” (Quran 58:3-4)

Mendatangi Istri pada Dubur
Meski tidak ada ayat yang secara eksplisit melarangnya, mendatangi istri pada dubur jelas tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Islam adalah agama yang menjunjung kebersihan.  Ada banyak ayat Quran yang menunjukkan keutamaan perilaku bersih.  Ketika Allah melarang orang beriman mendekati istri yang sedang haid pun, Allah menyuruh tunggu sampai istri tersebut bersih.

Sementara itu, tindakan mendatangi istri pada dubur adalah perilaku kotor.  Saluran dubur itu dikotori oleh tahi, karenanya ia tidak layak dimasuki.  Ketika Nabi Luth memperingatkan kaumnya yang penyuka sesama lelaki pun, beliau tawarkan agar mereka “mendatangi” perempuan dengan pertimbangan bahwa hal tersebut lebih bersih (lihat surah 11:78).

Maka hindarilah mendatangi istri pada duburnya.

Bersumpah Tidak akan Mencampuri Istri
Dalam hal seorang suami bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya, Allah memberi tenggat empat bulan untuk memilih apakah akan kembali mencampuri si istri atau menceraikannya.

“Bagi orang-orang yang bersumpah memantangkan diri dari perempuan-perempuan (istri) mereka, menanti empat bulan.  Jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Pengampun lagi Pengasih.  Dan jika mereka berketetapan hati untuk bercerai, maka sesungguhnya Allah Mendengar lagi Mengetahui.” (Quran 2:226-227)

Apabila suami memilih untuk kembali mencampuri istrinya, sebagai konsekuensinya dia wajib membayar kafarat (denda) sumpah berupa memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi mereka pakaian, atau memerdekakan seorang budak.  Kalau tidak mampu melakukan salah satu dari tiga hal tersebut, maka kafaratnya ialah berpuasa tiga hari (lihat Quran 5:89).

Doa
Menutup pembahasan kali ini, marilah kita panjatkan doa memohon kepada Allah agar mengaruniakan kepada kita kesenangan hati melalui pasangan hidup dan keturunan kita.

“… ‘Wahai Tuan kami, berilah kami kesejukan mata (penyenang hati) dari pasangan-pasangan kami dan (dari) keturunan kami, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.’” (Quran 25:74)

(Terakhir diperbarui: 15 April 2022)

Share on Facebook

Artikel Terkait: