24.5.11

Poligami

Poligami, yaitu laki-laki beristrikan lebih dari satu orang perempuan dalam waktu yang bersamaan, telah dikenal di dalam kehidupan masyarakat sejak dulu kala.  Praktik poligami hidup di tengah bangsa-bangsa Barat maupun bangsa-bangsa Timur dengan berbagai latar belakang agama mereka.

Pada pandangan Islam, poligami adalah diperbolehkan.  Tidak ada larangan bagi seorang laki-laki yang telah beristri untuk kawin lagi dengan perempuan lain.  Dan tidak ada pula larangan bagi seorang perempuan untuk kawin dengan laki-laki yang telah beristri.

Jumlah perempuan yang dapat diperistri secara bersamaan oleh seorang laki-laki adalah maksimal sampai empat orang.

Menelusuri sejarah para nabi dan rasul, ternyata banyak di antara mereka yang melakukan poligami.  Nabi Ibrahim, Nabi Yakub, Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Musa, dan Nabi Muhammad diketahui beristri lebih dari satu.

Beristrikan lebih dari satu orang perempuan tentu menimbulkan suasana pergaulan yang berbeda dengan beristri tunggal.  Pada rumah tangga poligami, seorang suami bergaul dengan beberapa orang istri dan hal tersebut akan meninggalkan kesan yang berbeda-beda pada dirinya.  Akan ada istri tertentu yang karena satu dan lain hal lebih disenangi suami dibandingkan dengan istrinya yang lain.

Keadilan Bukan Syarat
Mungkin karena mendalamnya sifat dari hubungan cinta antara laki-laki dan perempuan, perbedaan perlakuan seorang suami yang timbul dari perbedaan kesan terhadap istri-istrinya tersebut cenderung signifikan.  Hal ini yang kemudian menjelma menjadi suatu ketidakadilan.

Allah pun telah mengatakan bahwa laki-laki tidak akan sanggup berbuat adil terhadap istri-istrinya, meskipun dia sangat ingin bisa berbuat demikian.

“Dan kalian tidak akan mampu berbuat adil di antara perempuan-perempuan itu, walaupun kalian sangat ingin …” (Quran 4:129)

Sekarang ini, suami yang ingin berpoligami harus mendapatkan izin dari pengadilan agama.  Dan salah satu dasar pertimbangan diberikannya izin adalah kemampuan suami berlaku adil.

Yang demikian itu adalah gambaran sebuah tata hukum yang bodoh (jahiliyah).  Bagaimana mungkin mensyaratkan keadilan yang bahkan oleh Allah telah dikatakan mustahil?  Dan konyolnya lagi, karena dalam kenyataannya pengadilan agama ada mengeluarkan izin poligami, berarti syarat yang mustahil tersebut dianggap bisa dipenuhi.

Ayat berikut sering dijadikan rujukan bahwa syarat untuk berpoligami adalah mampu berlaku adil:

“Dan jika kalian khawatir bahwa kalian tidak akan berlaku adil pada anak-anak yatim itu, maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang baik bagi kalian dua, dan tiga, dan empat.  Kemudian jika kalian khawatir bahwa kalian tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) satu (saja), atau apa yang tangan kanan kalian miliki.  Yang demikian itu lebih dekat bahwa kalian tidak akan berbuat tidak adil.” (Quran 4:3)

Sebenarnya konteks ayat di atas adalah perintah kepada laki-laki yang khawatir tidak akan dapat bersikap adil kepada anak-anak yatim--jika dia mengawini mereka--agar mengawini perempuan lain saja.

Pada ayat tersebut perempuan yang disuruh kawini berjumlah antara dua sampai empat orang.  Kalau ayatnya hanya sampai di situ, maka poligami jatuh sebagai sebuah keharusan.  Namun ayatnya masih dilanjutkan dengan menyebut bahwa laki-laki yang takut pada ketidakadilan dalam poligami—mungkin karena mempertimbangkan bahwa ketidakadilan tersebut dapat bergeser menjadi kezaliman—silakan mengawini satu orang perempuan saja.

Jadi bagian akhir ayat di atas membuka kekecualian bagi laki-laki yang tidak ingin berpoligami.  Bukan mensyaratkan bahwa untuk berpoligami harus sanggup berlaku adil.

Tidak Boleh Abai
Kalau bukan “keadilan,” lalu apakah rambu dalam poligami?  Aturan bagi laki-laki yang berpoligami adalah tidak boleh terlalu condong kepada istri tertentu dan mengabaikan istri yang lain.

“Dan kalian tidak akan mampu berbuat adil di antara perempuan-perempuan itu walaupun kalian sangat ingin, maka janganlah kalian condong (dengan) seluruh kecondongan (kepada perempuan tertentu) lalu kalian biarkan dia (perempuan yang lain) seperti yang digantung …” (Quran 4:129)

Dia harus ingat untuk tetap menunaikan kewajiban kepada semua istrinya.  Bukan saja kewajiban untuk menafkahi, tapi juga kewajiban untuk membagi kasih sayang dengan  “menggauli” mereka secara pantas tanpa ada yang “dianggurkan.”

Jika seorang laki-laki khawatir akan abai kepada istri yang lain tatkala ada istri tertentu yang lebih dia cintai, sebaiknya dia mengurungkan niat berpoligami.  Cukupkan saja dengan satu orang istri daripada terjerumus pada kezaliman.

Bagi perempuan yang suaminya berpoligami, tidak perlu membanding-bandingkan bagaimana perlakuan suami kepada Anda dan kepada istrinya yang lain.  Janganlah mengharapkan perlakuan yang sama persis dari suami, karena hal tersebut mustahil terjadi.    Yang penting adalah bahwa suami tidak lalai dalam menunaikan kewajibannya—lahir dan batin.

Menakar Kebaikan Dan Keburukan
Mungkin ada pertanyaan, mengapa poligami dibolehkan padahal ia akan melahirkan ketidakadilan.

Pertimbangan pastinya hanya Allah yang tahu.  Namun kita bisa mencoba memahami dengan membandingkannya dengan salah satu ketentuan Allah yang lain, yaitu larangan judi dan arak.

Ketika melarang judi dan arak, Allah mengatakan bahwa pada keduanya terdapat manfaat bagi manusia.  Namun, kata Allah, dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.  Jadi dalam hal ini bukan soal ada kebaikan atau keburukannya saja, melainkan manakah yang lebih besar di antara kebaikan dan keburukan tersebut.

Kalau pertimbangan yang sama kita terapkan pada poligami, maka bisa kita katakan bahwa dibolehkannya poligami akan lebih besar kebaikannya daripada keburukannya.

Lagi pula, “ketidakadilan” di dalam poligami dibatasi oleh adanya kewajiban tertentu yang harus diindahkan oleh setiap suami.  Meskipun ada perlakuan yang tidak sama, semua istri tetap harus dinafkahi dan dipergauli secara patut.  Jadi walaupun tetap bisa disebut “tidak adil,” keadaannya secara umum tidaklah seburuk yang mungkin dibayangkan.

Hanya Cari Enak?
Sebagaimana yang sudah diutarakan di awal, poligami adalah sebuah kebolehan.  Sifatnya netral.  Bukan suatu keutamaan, dan bukan pula sebuah ketercelaan.  Namun ada sinisme yang berkembang bahwa pelaku poligami adalah laki-laki yang “ingin enaknya saja.”  Benarkah demikian?

Sebelumnya perlu dikemukakan bahwa adanya laki-laki yang menghendaki lebih dari satu orang istri merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri.  Dan tidak ada yang salah dengan hal tersebut.  Poligami adalah sebuah pilihan.  Mereka yang memilih untuk tidak berpoligami tidak perlu mempermasalahkan apa yang menjadi pilihan orang lain.  Begitupun sebaliknya.

Tatanan masyarakat yang dikehendaki oleh pengaturan Allah bukanlah sejenis peradaban munafik, yang mencemooh poligami namun mempraktikkan “polizina.”  Yang menilai laki-laki dengan beberapa istri sebagai “pria kampungan,” namun melihat laki-laki dengan beberapa “gadis senang-senang” sebagai “pria beruntung.”

Agama menghendaki bahwa hubungan yang intim antara laki-laki dan perempuan diwujudkan di dalam ikatan perkawinan.  Entah itu dengan satu orang istri, atau dengan lebih dari satu orang istri.

Sekarang kita kembali ke sinisme “ingin enaknya saja” sebagaimana yang sebelumnya disinggung.

Tidak berbeda dengan perkawinan tunggal, perkawinan poligami tetaplah sebuah perkawinan.  Dan kita tentunya menyadari bahwa di dalam perkawinan ada hal-hal “enak” maupun hal-hal “tidak enak.”  Ada hak-hak yang dapat dinikmati, dan ada pula kewajiban-kewajiban yang menuntut dipenuhi.

Apabila seorang laki-laki taruhlah memiliki dua istri, maka dia berpotensi untuk mendapatkan hal-hal “enak” dua kali lebih banyak daripada laki-laki yang hanya memiliki satu istri.  Namun jangan lupa, bahwa dia membayar itu dengan memikul beban tanggung jawab yang juga dua kali lebih berat.

Dalam konteks tatanan sosial, yang mana masyarakat mengharapkan agar perempuan yang sudah layak kawin bisa mendapatkan suami, laki-laki yang berpoligami sesungguhnya telah mengambil peran yang lebih besar dalam mewujudkan harapan tersebut.

Jadi, orang yang berpandangan bahwa poligami adalah perbuatan “ingin enaknya saja” harusnya malu terhadap cara berpikir mereka yang demikian dangkal.  Penilaian “ingin enaknya saja” baru tepat apabila ditujukan kepada para pezina.

Suamimu Bukanlah Milikmu
Bagi sebagian perempuan, poligami dirasakan sebagai ketentuan yang tidak mudah diterima.  Keberatan sebagian perempuan tersebut bertolak dari pemikiran bahwa suami mereka adalah “milik” mereka.  Dan mereka tidak rela jika “milik” mereka itu dibagi dengan perempuan lain.

Benarkah suami kita adalah “milik” kita?

Di dalam rumah tangga, suami berkedudukan sebagai pemimpin atas istrinya.  Allah menempatkan laki-laki satu derajat lebih tinggi di atas perempuan oleh sebab kelebihan yang dimiliki laki-laki, dan oleh sebab mereka menafkahkan hartanya untuk perempuan.

Dalam pelaksanaannya, istri dituntut untuk patuh kepada suami.  Tindak tanduk seorang istri harus sejalan dengan kehendak sang suami, sepanjang yang dikehendaki suami itu masih dalam batas kepatutan.  Kalau A kata suami, istri mesti menjalankan A.  Jika suami tidak menyukai B, istri hendaknya tidak melakukan B.

Dengan kewenangan yang demikian, bukankah justru suami yang lebih pantas menganggap istri sebagai “milik”nya?  Belum lagi kalau kita ingat bahwa sebelumnya suami telah “membayar” kita dengan sejumlah mahar.  Jadi gagasan bahwa suami kita adalah “milik” kita itu jelas salah kaprah.

Melihat Sisi Lain
Para istri jangan khawatir tidak mendapatkan bagian kasih sayang jika suami memiliki istri yang lain.  Agama sudah mengatur bahwa seorang suami harus membagi kasih sayang kepada semua istri-istrinya.

Waktu untuk bercengkerama tentu akan terbagi.  Namun bukankah itu memberi kita kesempatan untuk istirahat dari “usikan” suami?  Lagi pula tubuh kita secara alami memang menuntut jeda bulanan untuk haid.

Keuangan suami juga tentu akan terbagi.  Namun apa hak kita mencampuri urusan keuangan orang lain?  Ingat, uang suami bukanlah uang kita.

Daripada hanya melihat dari sudut pandang bahwa suami kita membagi cinta, akan lebih baik memandangnya dari perspektif bahwa kita selaku hamba Allah belajar untuk menerima sesuatu yang memang dibolehkan oleh-Nya.

Komunikasi Pra-Kawin
Untuk memperkecil kemungkinan munculnya keberatan di kemudian hari, tidak ada salahnya jika sejak awal kita membicarakan dengan calon istri atau calon suami kita tentang kemungkinan poligami.  Hasil pembicaraan tersebut bisa menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi kita sebelum memutuskan untuk kawin dengannya.

Bukan “Tafsiran Maskulin”
Kebolehan poligami dalam pandangan agama adalah sesuatu yang sudah jelas.  Bukan sebuah “tafsiran maskulin” sebagaimana yang dituduhkan oleh kaum feminis.

Mudah saja bagi Allah untuk melarang poligami jika Dia menghendaki.  Cukup dengan satu ayat, maka lenyaplah kemungkinan untuk berpoligami.  Namun kenyataannya poligami dibolehkan oleh Allah.  Tentulah ada hikmahnya—dalam konteks personal maupun sosial—mengapa poligami dibolehkan.

Seorang hamba yang benar akan menyelaraskan sikapnya dengan ketentuan Allah.  Jika boleh menurut Allah, maka dia pun akan menyikapinya sebagai kebolehan.  Bukan mempermasalahkan apalagi menentangnya.

Kebijakan Jahiliyah
Pemerintahan jahiliyah sekarang ini mempersulit poligami dengan mengada-ada berbagai persyaratan yang berat.  Padahal, mempersulit poligami sama artinya dengan mempersulit perkawinan.  Dan hal tersebut sedikit banyak pasti akan turut memicu terjadinya kemaksiatan di dalam masyarakat.

Catatan: Istilah yang lebih tepat untuk laki-laki beristri lebih dari satu sebenarnya adalah “poligini.”  Di dalam tulisan ini digunakan istilah “poligami” dengan pertimbangan bahwa istilah tersebut yang lebih dikenal oleh umum.

(Terakhir diperbarui: 12 Juni 2014)

Share on Facebook

Artikel Terkait: