30.5.17

Khilafah dan Negara Islam

Khilafah
“Khilafah” adalah istilah turunan dari “khalifah” yang berarti “pengganti,” atau bisa juga disebut “suksesor.”  Kalau misalnya ada sebuah pulau kosong yang sudah ditinggal penghuninya, lalu sebagai gantinya pulau tersebut dihuni oleh para perompak, maka para perompak ini adalah “khalifah.”  Presiden-presiden Indonesia setelah presiden pertama pun bisa disebut khalifah, kalau memang istilah itu yang hendak dipakai.  Pak Harto adalah khalifah pertama, dan Pak Joko yang saat ini menjabat adalah khalifah ke enam.

Adam disebut khalifah di bumi (Quran 2:30) dalam artian bahwa beliau diciptakan Allah sebagai pengganti penghuni bumi yang sebelumnya.

Istilah khalifah di dalam Quran paling sering digunakan dalam konteks pergantian antar kaum.  Dikisahkan bahwa tiap kali Allah memusnahkan suatu kaum yang ingkar, Dia lalu menjadikan kaum yang lain sebagai pengganti (khalifah).  Kaum pengganti (khalifah) ini ada yang berbakti, namun tidak sedikit pula yang durhaka kepada Allah.

Kaum Tsamud yang membangkang kepada rasulullah Saleh adalah khalifah karena mereka merupakan pengganti atas kaum Ad, meski kemudian mereka pun dimusnahkan sebagaimana kaum Ad yang mereka gantikan.

“Dan ingatlah ketika Dia menjadikan kalian pengganti-pengganti (khulafaa’) setelah Ad, dan Dia menempatkan kalian di bumi ...” (Quran 7:74)

Jadi sejatinya “khalifah” itu sekadar istilah biasa dalam bahasa Arab untuk menyebut “pengganti,” tanpa ada suatu konotasi islami.  Ia kemudian menjadi bagian kosakata perpolitikan Islam karena status sebagai “pengganti” yang disematkan kepada pemimpin kaum mukmin yang menggantikan Nabi Muhammad pasca wafat beliau, telah bertransformasi menjadi sebuah “gelar” yang berlanjut ke pemimpin-pemimpin berikutnya.  Pemerintahan para “pengganti” ini kemudian diistilahkan sebagai “khilafah” (ke-pengganti-an).

Terlepas dari kerancuan penggunaan istilah “khilafah” yang salah kaprah itu, kita sudah mafhum bahwa ketika ada sebagian umat Islam menyuarakan gagasan khilafah, pada dasarnya yang mereka maksudkan adalah sebuah pemerintahan negara Islam.

Ulil Amri Minkum
Saya belum menemukan ada ayat Quran yang dapat dijadikan sebagai dasar wajibnya mendirikan negara Islam.

Ada kalangan yang merujuk kepada ayat perintah untuk taat kepada “pemegang kewenangan” (ulil amri) sebagai dasar pewajiban negara Islam.

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah rasul, dan pemegang kewenangan di antara kalian ...” (Quran 4:59)

Mereka beralasan bahwa “pemegang kewenangan dari kalian” (ulil amri minkum) pada ayat tersebut adalah pemerintahan Islam, dan untuk dapat dipenuhinya perintah taat kepada pemerintahan Islam itu, maka ia wajib diwujudkan.

Ada dua masalah dalam penarikan kesimpulan yang demikian.

Pertama, “pemegang kewenangan” (ulil amri) tidak harus diartikan sebagai pemerintah.  Ia bisa pula sebatas orang yang diamanati untuk mengurusi hal-hal tertentu.  Bisa dikatakan bahwa pemerintah itu sudah pasti ulil amri, namun ulil amri itu belum tentu pemerintah.

Ke dua, kalaupun ulil amri pada ayat di atas diartikan sebagai pemerintah—dalam hal ini pemerintahan Islam, adalah suatu kesalahan logika apabila menyimpulkan bahwa ia wajib diwujudkan.

Adanya perintah terkait sesuatu hal di dalam Quran bukan berarti hal tersebut harus ada atau diadakan.  Allah menetapkan kepada orang beriman bahwa budak mereka harus meminta izin pada tiga waktu dalam sehari (Quran 24:58), bukan berarti orang Islam wajib punya budak supaya bisa memenuhi perintah tersebut.  Orang beriman diperintahkan untuk tidak terlalu condong kepada salah seorang istri (Quran 4:129), bukan berarti orang beriman wajib berpoligami demi bisa menjalankan perintah tersebut.  Perintah untuk taat kepada rasul pun tidak berarti bahwa rasul itu akan selalu ada di sepanjang zaman.

Ketika objeknya ada, kita wajib mengindahkan perintah Allah terkait hal tersebut.  Namun apabila objeknya tidak ada, maka tentu perintah tersebut otomatis menjadi tidak relevan.  Sesederhana itu.

Jadi ayat perintah untuk taat kepada ulil amri di atas tidak bisa dijadikan dasar pewajiban negara Islam.

Kita dapat melihat bahwa perintah untuk taat kepada ulil amri tersebut mengajarkan disiplin koordinasi kepada kaum mukmin.  Manakala anggota komunitas percaya dan taat kepada pihak yang berwenang di antara mereka, mereka dapat terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti kesimpangsiuran informasi (Quran 4:83), dll.  Maka ketika orang beriman hidup di masyarakat non-muslim pun, dia tetap dapat mengambil manfaat yang sama dari pesan ayat tersebut dengan mentaati otoritas yang ada, tentunya sepanjang yang diperintahkan oleh pihak berwenang tersebut tidak menyalahi perintah Allah dan rasul-Nya.

Pemberlakuan Hukum Islam
Selain mendasarkan pada ayat “ulil amri,” ada pula yang mendalilkan bahwa membentuk negara Islam itu wajib karena ia syarat untuk dapat berlakunya hukum Islam.

Sebelumnya perlu kita bahas dulu apakah betul hukum Islam itu wajib berlaku di tengah umat.

Allah di dalam Quran memang menetapkan beberapa ketentuan hukum yang wajib diindahkan.  Ambil contoh hukum potong tangan bagi pencuri dan sanksi cambuk bagi pezina.  Allah katakan pula bahwa siapa yang tidak memutus perkara menurut kitab yang diturunkan-Nya, maka orang tersebut kafir, zalim, dan fasik.

“... barang siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (Quran 5:44)

“... barang siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang zalim.” (Quran 5:45)

“... barang siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang fasik.” (Quran 5:47)

Namun keliru kalau kita menyimpulkan bahwa ayat-ayat tersebut mewajibkan berlakunya hukum Islam.  Coba cermati kembali ayat di atas.  Ayat tersebut menuntut mereka yang berkedudukan sebagai pemutus hukum agar memutus perkara berdasarkan kitab Allah, bukan menuntut bahwa hukum Islam itu harus terwujud di masyarakat.

Yang berwenang memutus suatu perkara adalah hakim.  Namun hakim pun hanya memutus berdasarkan apa yang tertulis di dalam kitab undang-undang.  Dengan kata lain, sebelum diaplikasikan oleh hakim dalam kasus nyata, suatu hukuman sebenarnya telah “diputuskan” pada tingkat pembuat undang-undang, yang di Indonesia mandatnya ada di tangan presiden bersama dengan DPR.  Maka dalam konteks sistem hukum Indonesia, tuntutan pada ayat di atas dialamatkan kepada hakim, presiden, dan anggota DPR.

Jadi kalaupun dalam kenyataannya hukum pidana Islam itu tidak berlaku, sebagaimana di Indonesia saat ini, tidak ada tuntutan apapun terhadap masyarakat umum yang tidak berkedudukan sebagai pemutus hukum.

Mungkin akan timbul pertanyaan, “Bagaimana mungkin seorang hakim akan memutus berdasarkan Quran jika hukum Islam tidak berlaku?”  Lazimnya memang tidak mungkin.  Dalam keadaan demikian para hakim muslim dapat mengajukan petisi agar mereka dikecualikan dari mengadili perkara-perkara yang akan memaksa mereka memutus tidak sesuai dengan Quran.  Jika petisi demikian tidak dikabulkan, maka mau tidak mau mereka harus meninggalkan profesi hakim kalau tidak mau dicap kafir, zalim, dan fasik.

Secara singkat bisa dikatakan: hukum Islam itu tidak wajib berlaku, namun seorang mukmin wajib memutus berdasarkan hukum Islam.

Jadi terkait pendapat wajib adanya negara Islam sebagai syarat untuk dapat berlakunya hukum Islam, bisa dikemukakan bahwa, pertama, hukum Islam itu sendiri tidak harus berlaku.

Ke dua, sebenarnya pemberlakuan hukum Islam itu pun tidak mutlak mensyaratkan negara Islam.  Sepanjang filosofi dan konstitusi suatu negara tidak secara eksplisit menyatakan diri anti-agama, maka—secara teori—tidak ada halangan formal bagi penerapan hukum Islam di negara tersebut meskipun ia bukan negara Islam.

Di Indonesia yang saat ini berdasarkan Pancasila pun tidak ada halangan bagi para pembuat undang-undang untuk misalnya merumuskan: “Barang siapa yang melakukan perbuatan zina diancam dengan pidana seratus cambukan,” bila memang mereka mau merumuskan seperti itu.  Tidak harus ada label “berdasarkan ayat Quran” atau “berdasarkan syariat Islam,” karena hukum Islam itu adalah tentang substansinya, bukan labelnya.

Memang hampir mustahil rasanya pasal demikian akan terbit dari badan legislatif suatu negara yang bukan negara Islam.  Namun kita bisa mengatakan bahwa setidaknya secara teori hal tersebut memungkinkan.

Sampai di sini kiranya jelas bahwa tidak ada ayat Quran yang secara meyakinkan dapat dijadikan sebagai dalil wajibnya mendirikan negara Islam.

Urgensi Negara Islam
Meski tidak ada ayat Quran yang mewajibkan, bukan berarti gagasan negara Islam itu sama sekali tidak ada relevansinya dengan semangat yang terkandung di dalam Quran.  Quran memuat serangkaian sistem nilai yang bertujuan membawa manusia kepada kehidupan yang diridai Allah.  Sistem nilai tersebut akan lebih mungkin ditegakkan di masyarakat manakala negaranya memang menganut falsafah Islam.

Pada negara dengan ideologi kompromistis seperti Pancasila, penerapan sistem nilai Islam (maupun sistem nilai agama lain) akan menjadi serba tanggung.  Praktik ibadah yang sifatnya personal memang dapat dijalankan, namun apabila kita menuntut kebijakan tertentu yang bertujuan untuk menegakkan sistem nilai Islam (mis. pembatasan ketat terhadap muatan media yang berpotensi merusak akhlak, pelarangan zina, penghapusan riba, dll) besar kemungkinan akan terbentur dengan retorika “Indonesia bukan negara Islam,” meski sebenarnya tuntutan tersebut masih bisa dikatakan selaras dengan sila “ketuhanan.”

Ruang debat pada sila “ketuhanan” ideologi kompromistis itu terlalu luas.  Perbuatan homoseks pun bisa saja dianggap tidak bertentangan dengan sila “ketuhanan” karena tidak jelas sistem nilai ketuhanan yang mana yang akan digunakan sebagai patokan.  Menurut Islam, perbuatan homoseks itu menyimpang.  Namun belum tentu demikian menurut pihak agama lain.  Dan kalau standar Islam yang digunakan, hampir pasti akan banyak yang teriak, “Ini bukan negara Islam!”  Itulah konsekuensi dari ideologi kompromistis.  Ibarat air panas dicampur air dingin, hasilnya air suam-suam kuku; panas tidak, dingin pun tidak.

Akibatnya kemudian adalah rentan terjadi kerusakan moral di tengah umat karena instrumen negara—yang sebenarnya juga merupakan representasi dari umat Islam yang di Indonesia jumlahnya mayoritas—berada dalam posisi tidak punya daya untuk dengan tegas melindungi sendi-sendi keislaman.

Padahal penggerusan terhadap sendi-sendi keimanan berlangsung begitu intens dan sistematis.  Perhatikanlah bagaimana media menjejali kita dengan berbagai gagasan cabul, baik secara terselubung maupun terang-terangan, termasuk melalui film dan game untuk anak-anak.  Betapa mereka menggiring kesadaran kita untuk mengabaikan urusan ketuhanan dan membenarkan penyimpangan-penyimpangan moral.

Tak kurang dari organisasi perserikatan bangsa-bangsa pun turut mensponsori LGBT.  Itu semua tidak mungkin dapat dibendung kecuali dengan campur tangan negara.  Inisiatif perseorangan dan kelompok bukanlah lawan sebanding dalam menghadapi makar kaki tangan iblis tersebut.

Konsekuensi lain dari ideologi kompromistis adalah kecil kemungkinan hukum pidana Islam akan diterapkan.  Memang, ketika hukum pidana Islam tidak diterapkan, yang berdosa hanyalah pihak-pihak yang berkedudukan sebagai pemutus hukum.  Namun bukan berarti masyarakat luas tidak terdampak dengan tidak berlakunya hukum rancangan Allah tersebut.

Pencuri yang seharusnya jera dengan hukuman potong tangan, banyak yang kembali mengulangi perbuatannya di tengah masyarakat sekeluar dari penjara.  Tingginya angka pencurian akan menciptakan keresahan di masyarakat karena ia bukan saja menjadi ancaman terhadap keamanan harta melainkan juga keselamatan jiwa.

Hukuman cambuk di depan umum bagi pezina tidak diberlakukan, padahal sanksi tersebut selain akan membuat jera pelakunya, juga menjadi peringatan bagi anggota masyarakat yang lain untuk tidak melakukan perbuatan yang sama.  Akibatnya kecabulan dengan segala dampak ikutannya seperti perselingkuhan, aborsi, pembuangan bayi, dan pemerkosaan mewabah di masyarakat.

Pada tataran dunia, status sebagai bukan negara Islam menyulitkan kaum mukmin memberi pembelaan yang optimal kepada saudara seiman yang mengalami penindasan di negeri lain sebagaimana amanat Quran 8:72.  Bantuan hanya mungkin dilakukan sebatas oleh perseorangan atau kelompok, dan itu pun sebenarnya ilegal.  Potensi kekuatan umat yang terwujud dalam militer negara pada kasus ini menjadi mandul karena mereka tidak dapat digerakkan atas dasar agama.

Akhir kata, meskipun di dalam Quran tidak ada kewajiban untuk menegakkan negara Islam, kita tidak dapat memungkiri urgensi negara Islam dalam mewujudkan tatanan kehidupan yang selaras dengan tuntunan Allah.

Share on Facebook

Artikel Terkait: