19.12.08

Kembali ke Prinsip Moral

“Keserakahan” (greed) dituding sebagai biang keladi krisis keuangan yang belakangan ini terjadi di Amerika Serikat dan berimbas ke seluruh pelosok dunia. Ungkapan tersebut cukup mengejutkan mengingat ia muncul dari sebuah masyarakat kapitalis yang cenderung meletakkan pembatasan yang tegas antara urusan bisnis dan urusan moral. 

Krisis keuangan Amerika Serikat terjadi ketika dana pinjaman yang telah dikucurkan lembaga-lembaga finansial Amerika Serikat untuk pasar perumahan, macet dalam jumlah sangat besar. Kemacetan ini dipicu oleh ketamakan lembaga-lembaga pembiayaan yang mengucurkan dana tanpa melihat kelayakan calon debitur. Pinjaman diberikan semata-mata karena proyeksi keuntungan besar yang akan diraih. Alih-alih mendapatkan untung, kredit macet yang berskala masif akhirnya membuat bursa keuangan Amerika limbung dan harus diselamatkan dengan dana talangan dari pemerintah AS senilai 700 miliar dolar AS (Kompas.com 02/10/2008).

Di dalam masyarakat kapitalis ada sebuah anggapan bahwa bisnis harus dijalankan dengan mengesampingkan nilai-nilai moral. Bisnis adalah satu hal yang harus dijalankan dalam kerangka berpikir bisnis, yaitu mencari sebesar-besarnya keuntungan terlepas dari pertimbangan moralitas. Pandangan demikian oleh De George disebut sebagai mitos bisnis amoral.

Bisnis amoral—harap dibedakan dengan istilah “imoral”—adalah ujung dari gunung es pengabaian nilai-nilai moral di dalam kehidupan. Derap kehidupan yang dipandu oleh hasrat untuk mengumpulkan materi telah menempatkan moral ke dalam kategori “tidak relevan.” Kenyataannya memang benar bahwa kejujuran tidak akan (secara langsung) membuat omzet usaha bertambah, dan bersikap adil tidak akan serta merta melejitkan karier seseorang. Bahkan yang lebih sering terjadi adalah kebalikannya. Angka penjualan bisa jatuh apabila pemasar berhenti membodohi konsumen, dan karir seseorang mungkin terancam jika dia kukuh menyuarakan kebenaran. 

Masalahnya, perilaku kehidupan yang mengabaikan nilai-nilai moral, baik itu di bidang bisnis, politik, maupun sosial, pada hakikatnya tengah menggali kuburannya sendiri. Cacat yang dikandung oleh perilaku demikian telah pasti. Yang masih menunggu waktu adalah kapan cacat tersebut mencapai kapasitas yang cukup besar untuk menimbulkan bencana.

Telah nyata kerusakan yang ditimbulkan oleh perilaku yang mengabaikan nilai-nilai moral. Krisis keuangan global hanyalah salah satunya. Di bidang lingkungan hidup muncul kerusakan akibat eksploitasi sumber daya alam yang hanya ingin mengeruk keuntungan tanpa mempertimbangkan aspek pelestarian alam. Dalam perpolitikan lahir putusan-putusan politik yang tidak memihak kepada keadilan dan kepentingan rakyak banyak. Di sisi kemanusiaan kita menyaksikan reruntuhan kota-kota dan kesengsaraan orang-orang yang menjadi korban dari perang yang dilandasi oleh kepentingan ekonomi.

Hal-hal yang tak kasatmata seperti nilai-nilai moral memang mudah diabaikan ketika memikirkan persoalan yang dihadapi dalam berbangsa dan bernegara. Kehadirannya dinilai tidak sepenting hal-hal yang konkret dan dapat dihitung seperti jumlah anggaran, kondisi infrastruktur, dan paparan statistik. Padahal, nilai-nilai moral memegang peranan utama dalam menentukan maju atau mundurnya peradaban suatu bangsa. Peradaban Islam yang sempat menorehkan tinta emas di atas lembaran sejarah menunjukkan bahwa kegemilangan sebuah bangsa bukan ditegakkan di atas tumpukan emas dan perak, bukan pula oleh bekal keunggulan ilmu dan teknologi. Kejayaan peradaban Islam terbangun oleh komitmen masyarakatnya kepada prinsip-prinsip kebenaran. Kemakmuran, kekuasaan, dan keunggulan ilmu pengetahuan adalah buah yang mereka capai kemudian. Peradaban yang gemilang itu pada akhirnya perlahan namun pasti meredup disebabkan oleh kelalaian generasi-generasi berikutnya dalam meneruskan komitmen moral yang dibangun oleh generasi awal.

Bangsa Indonesia telah memiliki Pancasila sebagai pandangan hidup. Sebagai sebuah filsafat yang tidak secara khusus disandarkan pada agama tertentu, pancasila memiliki keluwesan untuk diterapkan pada sebuah bangsa yang majemuk tanpa kehilangan ruhnya yang sesungguhnya sangat-sangat religius. Prinsip ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan adalah nilai-nilai universal yang dapat diterima oleh siapapun tanpa memandang latar belakang suku bangsa dan agama. Saya tidak ingin terlalu menekankan pada sebutan “Pancasila” nya itu sendiri, karena sebuah nama yang melembaga mudah sekali kehilangan maknanya. Apa yang ingin saya sampaikan adalah bahwa bangsa ini perlu kembali kepada prinsip-prinsip ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan dalam upayanya mengangkat diri dari keterpurukan. 

Bung Karno di dalam salah satu pidatonya mengingatkan kita agar jangan sekali-kali melupakan sejarah. Pesan beliau kepada bangsa Indonesia itu sangat mengena mengingat sejarah menyediakan begitu banyak pelajaran yang dapat dipetik untuk pembangunan sebuah bangsa. Sejarah mempunyai pola perulangan yang sifatnya ibarat ilmu pasti. “L’Histoire se repete” kata pepatah Perancis. Sejarah selalu berulang. Lewat sejarah kita dapat memungut kunci kejayaan sebuah peradaban untuk kita gunakan membuka gerbang kejayaan bangsa kita sendiri, dan melalui sejarah pula kita tahu persis batu sandungan yang akan menjatuhkan sebuah bangsa untuk sedapat-dapatnya kita hindari. 

Peradaban-peradaban yang pernah jaya di masa lalu akhirnya menghadapi kemunduran atau bahkan keruntuhan ketika meninggalkan prinsip-prinsip kebenaran. Sang adikuasa dunia yang beberapa dekade belakangan ini telah mempertontonkan arogansi dan kelalimannya di kancah global pun telah menunjukkan gejala-gejala akan lengser dari singgasananya. Sebaliknya, sebuah masyarakat padang pasir yang tidak diperhitungkan pada masa lalu telah tampil ke panggung sejarah mengalahkan kemilau Byzantium dan Persia berbekalkan kekuatan prinsip kebenaran yang mereka genggam. 

Indonesia mempunyai potensi untuk muncul sebagai peradaban baru yang gemilang jika mau memenuhi persyaratan yang dikehendaki oleh sejarah, yaitu komitmen kepada prinsip-prinsip kebenaran. Langkah tersebut tentu saja tidak dimaksudkan sebagai pengganti berbagai ikhtiar yang dijalani. Ia berada pada tataran etos yang menjadi daya hidup di balik gerak ikhtiar tersebut. Mungkin syarat kejayaan bangsa yang diungkapkan di sini terkesan sangat sederhana. Tapi bukankah kebenaran itu memang lebih sering mengambil bentuk yang sederhana saja?

(Dimuat di Harian Umum PELITA tanggal 17 Desember 2008) 

Artikel Terkait: