25.6.22

Mengenal Diri

Kita perlu sejenak berhenti dari berbagai kesibukan urusan dunia untuk merenungkan: kita ini sebenarnya siapa?  Mengapa kita ada di dunia ini?  Akan ke mana kita setelah ini?
 
Kita harus mengantongi jawaban yang benar dan meyakinkan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut apabila ingin menjalani hidup di atas pondasi yang kukuh; hidup dengan perspektif.  Kalau tidak, bisa-bisa kita hanya akan tersesat dalam kesibukan, dan sibuk dalam ketersesatan.
 
Jalan untuk mengetahui jati diri kita adalah dengan menyusuri asal-usul keberadaan kita di dunia ini ke belakang.
 
Sebelum terlahir sebagai bayi, kita adalah janin di dalam rahim ibu kita.  Sebelum menjadi janin, kita adalah tulang yang terbungkus daging.  Sebelum menjadi tulang yang terbungkus daging, kita adalah tulang.  Sebelum menjadi tulang, kita adalah segumpal daging yang kecil.  Sebelum menjadi segumpal daging yang kecil, kita adalah segumpal darah yang melekat di dinding rahim.  Sebelum menjadi segumpal darah, kita adalah setetes mani.  Sebelum menjadi setetes mani, kita adalah tanah.
 
“Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia dari sari pati tanah liat.  Kemudian Kami menjadikannya setetes mani (yang disimpan) dalam tempat yang kukuh (rahim).  Kemudian Kami ciptakan dari setetes mani itu segumpal darah; kemudian Kami ciptakan dari segumpal darah itu segumpal daging yang kecil; kemudian Kami ciptakan dari segumpal daging yang kecil itu tulang; kemudian Kami bungkus tulang itu dengan daging; kemudian Kami tumbuhkan ia sebagai makhluk yang (berbentuk) lain.  Maka berkatnya Allah, pencipta yang paling baik.” (Quran 23:12-14)
 
Sebelumnya, tanah itu tidak ada.
 
“Dan tidakkah manusia mengingat bahwa Kami telah menciptakannya dahulu, sedang dia belum berwujud sesuatu?” (Quran 19:67)
 
Jadi, ingatlah bahwa kita ini pernah tidak ada.
 
Dari ketiadaan, kemudian Allah berkehendak menciptakan kita.  Setiap penciptaan tentu memiliki tujuan.  Tujuan manusia menciptakan cangkir adalah untuk dijadikan tempat minum.  Kalaulah bukan karena untuk dijadikan tempat minum, manusia tidak akan menciptakan cangkir.
 
Sampai di sini kita sudah melihat ada setitik cahaya yang akan mengantarkan kita pada jawaban atas pencarian jati diri, yaitu dengan mengetahui tujuan Allah menciptakan kita.
 
Untuk apa Allah menciptakan kita?  Apa maksud Allah mengadakan kita yang sebelumnya tidak ada ini?  Jawabannya adalah, untuk menghambakan diri kepada-Nya.
 
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia selain untuk menghamba kepada-Ku.” (Quran 51:56)
 
Ternyata kita diciptakan untuk menjadi hamba Allah.  Dengan kata lain, kalaulah bukan untuk dijadikan sebagai hamba-Nya, tidak akan Allah menciptakan kita.
 
Kemudian pada waktunya kita akan mati dan dikembalikan kepada-Nya untuk menerima balasan atas segala yang telah kita kerjakan.
 
“Setiap jiwa akan merasakan mati. Kemudian kepada Kami kalian dikembalikan.” (Quran 29:57)

Maka, apabila ingin hidup selaras dengan fitrah diri, kita harus menjalani hidup dalam kesadaran sebagai seorang hamba Allah yang akan kembali kepada-Nya.
 
Kesadaran akan kedudukan sebagai hamba Allah telah tertanam di dalam alam bawah sadar setiap manusia dengan adanya kesaksian jiwa manusia ketika masih berada di alam roh.  Dalam kesaksian tersebut manusia membenarkan bahwa Allah adalah tuan mereka.  Karenanya manusia tidak dapat mengelak dari tuntutan penghambaan kepada Allah.
 
”Dan ketika Tuanmu mengambil dari punggung anak cucu Adam keturunan mereka, dan mengambil kesaksian atas jiwa mereka, ’Bukankah Aku ini Tuan kalian’ Mereka berkata, ’Ya, kami bersaksi.’  Supaya kalian tidak mengatakan pada hari Kiamat, ‘Sesungguhnya kami lalai mengenai ini.’" (Quran 7:172)
 
Hidup dalam kesadaran sebagai hamba Allah berarti kita harus menundukkan kehendak diri, dan berserah kepada kehendak Allah, Tuan kita.
 
Sikap berserah diri kepada Allah ini adalah nilai yang menjiwai kehidupan para nabi dan orang-orang saleh sejak ribuan tahun lalu.  Ia merupakan doa Nabi Ibrahim (2:128) serta Nabi Yusuf (12:101), wasiat Nabi Yakub kepada anak-anaknya (2:132), perintah Allah kepada Nabi Muhammad (3:84) serta Nabi Nuh (10:72), dan pernyataan Nabi Sulaiman (27:42) serta pengikut Nabi Isa (5:111).
 
Penyerahan diri kepada kehendak Allah kita wujudkan dengan menuruti semua aturan yang Dia tentukan, dan rela kepada apa pun takdir yang Dia tetapkan.  Sedang keyakinan bahwa kita akan kembali kepada-Nya kita wujudkan dengan sibuk menyiapkan perbekalan.  Itulah sikap orang yang telah mengenal hakikat diri.
 

Artikel Terkait: