25.6.22

Pidana Pembunuhan

Sanksi bagi orang yang dengan sengaja membunuh orang lain dengan tanpa hak, adalah dibunuh.
 
Hak untuk melakukan pembalasan ini ada di tangan ahli waris si korban.  Dalam hal ketentuan kisas telah diadopsi oleh negara, maka pembalasan tidak lagi dilakukan langsung oleh keluarga korban, melainkan diambil alih oleh aparat penegak hukum. 
 
Si pembunuh akan terhindar dari hukuman mati apabila ahli waris korban selaku pemegang hak pembalasan memaafkannya.
 
”Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang Allah haramkan, kecuali dengan (alasan) yang benar.  Dan barang siapa yang dibunuh secara zalim, maka sungguh Kami memberi kuasa kepada walinya (untuk membalas); tetapi janganlah dia (wali si korban) berlebihan dalam pembunuhan.  Sesungguhnya dia adalah orang yang ditolong.” (Quran 17:33)
 
Sebelumnya, berdasarkan surah 2:178, kisas dalam kasus pembunuhan hanya berlaku apabila pembunuh dan korban sama-sama orang merdeka, atau sama-sama budak, atau sama-sama perempuan.  Jadi kisas tidak berlaku manakala misalnya seorang laki-laki membunuh seorang perempuan. 
 
Ayat tersebut lalu digantikan oleh surah 17:33 yang turun belakangan.  Ketentuan kisas di dalam surah 17:33 bersifat umum tanpa mensyaratkan kesamaan status antara si pembunuh dan korban.  Maka selanjutnya hukum kisas berlaku secara umum untuk semua kasus pembunuhan yang disengaja. 
 
Membunuh dengan Khilaf 
Seorang mukmin dilarang membunuh mukmin lainnya dalam keadaan apapun.  Termasuk apabila mereka berada di dua kubu yang sedang berperang.
 
Apabila seorang mukmin karena kekhilafannya membunuh mukmin yang lain, misalnya dalam kecelakaan, atau dia tidak bermaksud menyasar si korban, atau dia tidak mengetahui bahwa si korban adalah seorang mukmin, maka dia wajib memerdekakan seorang budak yang mukmin, dan memberi ganti rugi kepada keluarga korban.
 
“Dan tidak patut bagi seorang mukmin untuk membunuh seorang mukmin (lainnya) kecuali dengan tersalah (khilaf).  Dan barang siapa membunuh seorang mukmin dengan khilaf, maka hendaklah dia memerdekakan seorang budak yang mukmin, dan menyerahkan ganti rugi kepada keluarganya (si korban), kecuali jika mereka menyedekahkan ...” (Quran 4:92)
 
Apabila si pembunuh dan korban berasal dari dua pihak yang bermusuhan, maka si pembunuh hanya wajib memerdekakan budak.
 
“… Jika dia (korban) dari kaum yang bermusuhan dengan kalian, sedang dia seorang mukmin, maka hendaklah (pembunuh) memerdekakan seorang budak yang mukmin.  Dan jika dia (korban) dari kaum yang antara mereka dengan kalian ada perjanjian (damai), maka hendaklah (pembunuh) menyerahkan ganti rugi kepada keluarganya, dan memerdekakan seorang budak yang mukmin …” (Quran 4:92)
 
Dalam hal si pembunuh tidak mendapatkan budak untuk dimerdekakan, atau dia tidak mampu untuk memerdekakan budak, maka sebagai gantinya dia wajib berpuasa dua bulan berturut-turut.
 
“… barang siapa tidak mendapatkan (budak), maka hendaklah dia berpuasa dua bulan berturut-turut--(sebagai) tobat kepada Allah.  Dan Allah Mengetahui, Bijaksana.” (Quran 4:92)
 
Kalau kita cermati, ketentuan pada surah 4:92 di atas bukan murni sanksi hukum yang sifatnya profan, tetapi telah menyatu dengan penebusan dosa yang sifatnya tuntutan agama.  Dan ketentuan tersebut khusus diperuntukkan dalam kasus seorang mukmin dengan khilaf membunuh mukmin yang lain. 
 
Untuk kasus pembunuhan tanpa sengaja secara umum, termasuk apabila misalnya dalam sebuah kecelakaan seorang mukmin tidak sengaja membunuh seorang non-muslim, atau seorang non-muslim tidak sengaja menghilangkan nyawa seorang mukmin, maka ketentuan yang  relevan untuk diadopsi ke dalam undang-undang dari surah 4:92 di atas adalah pembayaran ganti rugi kepada keluarga korban.
 
Adapun ketentuan untuk memerdekakan budak—yang dapat diganti dengan berpuasa—biarlah tetap berada di ranah agama yang akan dilaksanakan oleh seorang mukmin manakala dia hendak bertobat karena telah dengan khilaf membunuh mukmin yang lain.
 

Artikel Terkait: