25.6.22

Pidana Pencurian

Hukuman yang Allah tetapkan bagi pelaku pencurian adalah potong tangan.
 
“Adapun pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas apa yang mereka usahakan, (dan sebagai) hukuman peringatan dari Allah.  Dan Allah Perkasa, Bijaksana.” (Quran 5:38)
 
Hukuman yang sama juga diterapkan bagi perbuatan-perbuatan lain yang dapat dipersamakan dengan mencuri, seperti penggelapan, sebagian dari perbuatan curang, dan sebagian dari perbuatan korupsi. 
 
Tidak semua perbuatan yang masuk kategori “korupsi” bisa dipersamakan dengan mencuri.  Meski tetap dapat dipersalahkan, pejabat yang menerima “uang terima kasih” dari pemenang tender tidak dapat dianggap mencuri jika tidak ada penggelembungan (mark up) biaya pada proyek tersebut.  Berbeda halnya dengan pejabat yang sejak semula memang telah bersekongkol untuk memperkaya diri.
 
Hal semacam itu harus diperhatikan oleh pembuat undang-undang agar jangan sampai terjadi sanksi potong tangan dikenakan terhadap orang yang tidak pantas menerimanya, sebaliknya orang yang sebenarnya bisa dipersamakan dengan pencuri malah lolos dari rumusan undang-undang.
 
Mengenai hukuman potong tangan yang terkesan “kejam,” kita harus percaya bahwa itu memang hukuman terbaik untuk dikenakan terhadap pencuri.  Tidak ada hukum yang lebih baik daripada yang ditetapkan Allah.
 
Hukuman potong tangan jelas lebih efisien dibandingkan dengan hukuman penjara yang telah menghabiskan banyak uang negara untuk operasionalnya.  Sudahlah boros anggaran, hukuman penjara pun tidak menciptakan efek jera.  Terbukti semakin hari penjara-penjara semakin penuh sesak oleh para pencuri.
 
Adapun potong tangan, Allah katakan bahwa ia bukan saja balasan bagi si pencuri, tetapi juga sebuah “penggentar” (nakaalan) agar orang lain tidak berani berbuat hal yang sama.  Maka hukuman potong tangan insya Allah akan efektif menekan jumlah kasus pencurian di masyarakat.
 
Sebatas bagian apa tangan yang akan dipotong tentunya disesuaikan dengan bobot pencurian yang dilakukan.  Allah telah menciptakan tangan manusia dengan banyak sendi dan ruas.  Hukuman paling ringan atas pencurian dengan nilai signifikan mungkin bisa berupa potong satu ruas jari.  Dari situ kemudian ancaman hukumannya meningkat ke dua ruas jari, satu jari, dan seterusnya seiring makin beratnya bobot pencurian yang dilakukan. 
 
Untuk pencurian dengan nilai yang tidak signifikan, katakanlah mencuri sepotong roti, tidak harus ada bagian tangan yang putus.
 
Istilah “qatha’a” (potong) yang digunakan pada surah 5:38 di atas tidak selamanya bermakna memotong hingga putus.  Ia juga dapat diartikan sebatas “melukai” sebagaimana yang terdapat pada ayat yang menceritakan kisah ketika para wanita terpesona kepada Nabi Yusuf. 
 
“… Maka ketika mereka (perempuan-perempuan itu) melihatnya, mereka terpesona kepadanya, dan mereka (tanpa sadar) melukai (qatha’) tangan mereka ...” (Quran 12:31)
 
Maka orang yang mencuri dengan nilai tidak signifikan bisa cukup dihukum dengan sayatan tipis pada tangannya.  Hukuman tersebut sebanding dengan kesalahannya yang juga tidak seberapa.  Untuk yang nilai pencuriannya sudah mendekati signifikan, bisa saja diterapkan hukuman tambahan berupa beberapa kali cambukan. 
 
Mengenai berapa batas nilai pencurian yang dianggap signifikan, terpulang kepada pembuat undang-undang untuk merumuskannya dengan pertimbangan rasa kepantasan dan keadilan.
 

Artikel Terkait: