25.6.22

Tawakal dan Ikhtiar

Allah menyuruh kita untuk bertawakal; dan Dia menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. 
 
“... Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal.” (Quran 3:159)
 
Tawakal artinya menyerahkan urusan kepada pihak lain.
 
Kita hanya menyerahkan urusan kepada orang yang kita percaya.  Sebagian orang yang mempunyai perkara hukum menyerahkan urusan perkaranya kepada pengacara, karena dia percaya bahwa dengan pengetahuan, keahlian, dan pengalaman yang dimiliki pengacara tersebut, perkaranya akan tertangani dengan baik.
 
Sikap tawakal kepada Allah pun bertolak dari iman (percaya) kepada-Nya.  Manakala kita percaya bahwa pengetahuan, kebijaksanaan, dan kekuasaan dari pencipta dan pengatur alam semesta ini sungguh sempurna, maka tidak ada pilihan yang lebih baik bagi kita selain menyerahkan urusan kepada-Nya.  Karenanya sikap tawakal menjadi salah satu bukti bahwa seseorang itu benar beriman kepada Allah.
 
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah mereka yang apabila disebut (nama) Allah takut hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah imannya, dan kepada Tuan mereka, mereka bertawakal.” (Quran 8:2)
 
Dalam kaitannya dengan berbagai hajat yang menjadi kepentingan kita di dalam hidup, sikap tawakal menemukan relevansi tertingginya, karena penentu dari apapun yang kita hajatkan itu adalah Allah. 
 
“Jika Allah menolong kalian, maka tidak ada yang dapat mengalahkan kalian, tapi jika Dia membiarkan kalian, maka siapa yang dapat menolong kalian setelah itu? Maka hendaklah kepada Allah orang-orang mukmin bertawakal.” (Quran 3:160)
 
Apabila Allah menentukan seseorang itu sembuh, maka dia akan sembuh walau sekritis apapun keadaannya; apabila Allah menentukan seseorang itu tidak sembuh, maka dia tidak akan sembuh walau sebagus apapun terapinya.
 
Jika Allah tetapkan kita menang, maka kita akan menang walau minim jumlah dan persenjataan; jika Allah tetapkan kita kalah, maka kita akan kalah meski berjumlah banyak dan bersenjata canggih.
 
Maka orang tawakal tidak meletakkan harapan pada berbagai sarana dan ikhtiar.  Yang dikedepankan orang tawakal apabila menginginkan sesuatu adalah doanya yang sungguh-sungguh kepada Allah.
 
Dan agar doa kita mudah memperoleh perkenan dari Allah, hendaknya kita sungguh-sungguh pula taat kepada-Nya.
 
Ada tanda untuk dengan mudah mengetahui apakah kita sudah bertawakal atau belum.  Apabila kita benar sudah bertawakal, suatu urusan tidak terasa berat lagi di hati kita. Sebaliknya jika suatu urusan masih terasa sebagai beban, berarti ia masih kita pegang dan belum kita serahkan.
 
Meski segala sesuatunya ditentukan oleh Allah, kita dituntut untuk tetap menyempurnakan ikhtiar.  Berbagai ayat Quran menunjukkan dengan jelas hal ini.
 
Di dalam surah 17:12 dan di beberapa ayat yang lain Allah meninggalkan pesan kepada kita agar mencari karunia-Nya.  Di dalam surah 34:13 Allah memerintahkan Nabi Sulaiman untuk bekerja dengan rasa syukur.  Di dalam surah 8:60 Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman agar mempersiapkan kekuatan yang mereka mampu siapkan, termasuk pasukan berkuda untuk berperang.  Di dalam surah 4:102 Allah bahkan memerintahkan orang-orang beriman yang sedang dalam perang untuk tetap menyandang senjata mereka sekalipun di dalam shalat.
 
Jadi, orang tawakal tetap melakukan ikhtiar.  Hanya saja dia tidak meletakkan harapannya pada ikhtiar tersebut.  Harapannya hanya kepada Allah. Dia menjalankan ikhtiar sambil terus menyambungkan hati kepada Allah, Sang Penentu.
 
Orang tawakal tidak melihat ikhtiar sebagai penentu hasil.  Baginya ikhtiar adalah amal saleh yang dia lakukan karena adanya pesan Allah untuk menyempurnakannya.
 
Apabila setelah bertawakal dan menyempurnakan ikhtiar ternyata yang terjadi tidak sesuai dengan harapan, tidak usah kecewa.  Karena kita telah menyerahkan urusan tersebut kepada Allah, maka seyogianya kita menerima apapun yang Allah tetapkan untuk kita.
 
Tawakal bukanlah sebuah “kiat” untuk memperoleh apa yang kita inginkan, melainkan suatu adab ilahiah yang memang sepatutnya kita lakukan. 
 
Meski mungkin tidak enak, apa yang Allah tetapkan pasti yang terbaik untuk kita.  Pada waktunya insya Allah kita akan paham hikmah dari kejadian tersebut.  Dia maha mengetahui, maha bijaksana, maha penyayang.  Dia tidak akan menyia-nyiakan ketawakalan kita kepada-Nya.

Artikel Terkait: